Friday, November 25, 2016

Do What Your Love, Love What You Do

Hi, it's been a while since my last update!

..Simply because I don't know what to write and when. It's actually pretty ironic because now, drum roll please, I write for a living. Yep, that's right, I've decided to pursue a career in copywriting, and now I'm a full-time Copywriter in a local digital agency. Yay for me!

Few months after my graduation, I worked as a Content Writer (and a bit of Copywriter) intern in a local e-commerce startup. Why internship, though? With my degree, I could've applied for another available full-time position, right? (Just so you know, I had to turn down a full time position for this internship)

Well, the thing is, I want to experience first how does working feel like without really working, if you catch my drift. The field I'm aiming for is totally different from my studied major so I don't want to take a wrong step, I want to know more about it. Also, I didn't do internship back in uni and I thought, what's the harm in applying for internship position after you graduate?

Fast forward, I've done my 3 months internship period and I didn't make it to the full time position (I was actually aiming for it). That's when I make the decision that I should work in advertising agency, which is one of my old dream job. I applied here and there, and I came to this particular place. A local digital agency, located not too far South, unlike the other agencies I was applying at the moment. A friend of mine kind of introduce me to this digital agency before, and after a quick look at their website, I think this is it, I want to be a part of them.

I was skeptical at first when I applied. I mean, I don't know whether the "copywriter vacancy" is still valid or not because it was posted months ago, but hey, they contacted me! And I got the opportunity to be interviewed by my current Creative Group Head and Creative Director. I was nervous because both of them are seasoned player in this field, and I'm fucking green. But the interview went so well, though they give me an assignment as a part of my assessment. The assignment, thankfully, was rather simple one and I could easily nail it (LOL). Few days after I submitted my assignment, I was contacted again to work for them. Woo-hoo!!!

I know I've been here just for a month, but I love this place already. The office might not be as cool and hip as my internship office, but it's a lot closer to home so it only took about 30 minutes by car to and from there, 45 minutes tops. It matters a lot because the time you spent on the street can be reaaaaally tiring, just like what I've experienced in my internship place where I could spend 2 or even 3 hours just to get home. Though I'm not driving, it drained my energy and I got sleepy easily. Okay, back to my current office. Not only the location, I also LOVE the people. I mean, I haven't get to know every single of them, but I can tell that they're generally nice people, not the kind that rat out each other and talk bad behind your back. Basically, the office politic is close to zero. There are cliques but the kinds that blend in flexibly with other cliques, so it's all good. No seniority as well! Maybe it's just me but I can talk with ease with co-workers who's like, 6-10 years older than me. Even I dropped the "Mas" and "Mbak" prefix with some of them lol.

And the job itself? Oh, I think this is really my true calling! I'm glad I decided to work in an agency instead of client's side because that would be boring, and I've realized it just now. Copywriting is something everyone can do easily, but there's certain art to it, how to make your words effective, and that's the challenge. I'm reaaaally really thankful they want to take me and my green status as their new Copywriter.

Despite the Iong working hours and client's endless requests, I love my job. I love my workplace.

I wish things would stay this way.

Thursday, September 1, 2016

17 Hal yang Ingin Dilakukan Sebelum Lulus Kuliah: CHECK!

Hampir lupa. Dua tahun yang lalu, gue pernah nulis postingan yang judulnya "17 Hal yang Ingin Dilakukan Sebelum Lulus Kuliah" (silahkan klik judul untuk liat postingan aslinya). Dan gue udah lulus sejak April kemaren, tapi gue belom sempet ngecek mana-mana aja dari list itu yang udah gue lakukan. Maklum, namanya juga hampir lupa. Maka dari itu, gue mau ngecek daftarnya sekarang. Apa aja ya yang berhasil gue lakukan?


1. Nonton SORE manggung live di Bandung
Status: BERHASIL!
Nggak lama setelah postingan itu gue buat, SORE kebetulan banget manggung di satu acara di UNPAR, which is lumayan deket dari teritori (azek teritori), dan pacar juga ngajakin nonton. Jadilah kita nonton SORE manggung live, hehe. Ada sedikit cerita lucu, pas nonton SORE gue hampir muntah dan kolaps gara-gara pusing banget belom makan malem. Akhirnya gue melipir ke luar area dulu buat beli ganjelan perut dan nunggu kondisi tubuh membaik. Kombinasi perut kosong + suara jedam jedum + banyak orang itu sangat mematikan ternyata.

2. Dapet beasiswa
Status: Nggak berhasil :(
Sayangnya gue terlalu ter-occupied sama hal-hal lain dan nggak sempet cari-cari atau apply beasiswa. Bukan prioritas pertama juga sih, but still, lumayan banget nggak sih uangnya bisa dialokasiin kemana-mana?? Yah, mungkin kali ya kalo misalnya S2 gitu. Aamiiin.

3. Ikut pameran yang sifatnya open submission
Status: BERHASIL!
Gue akhirnya submit karya pra TA ke pameran How To Draw #2 di Gedung Indonesia Menggugat setelah nggak submit di pameran pertama. Hehehe, lumayan lah meski nggak serame yang pertama pamerannya. Dan kalo boleh diitung sih, minggu lalu gue juga ikut mini exhibition-nya Lemari Bukubuku. Jadi gue ngegambarin portrait pendonor buku yang fotonya udah dikasih sebelum hari H, dan pas hari H gambar gue (nothing too extraordinary, cuma ukuran A5 juga) dipamerin di acara bareng sama puluhan karya lain. Tetep seneng sih hehehe.

4. Submit tulisan ke media
Status: Nggak berhasil :(
Haha, alasannya sama kayak poin nomer dua. Gue emang nggak submit tulisan ke media beneran, tapiii gue udah bikin sekitar 3 tulisan buat majalah internal unit gue. Itu diitung nggak ya? Tapi bisa dimasukin porto kok. Dan berkat itu sekarang setelah lulus gue jadi intern content writer di salah satu startup juga, tulisan gue di-publish tiap minggu, jadi nggak gagal-gagal amat lah ya~

5. Ngasdos
Status: BERHASIL!
Yes! Dan ini sudah gue jelaskan di postingan ini. Intinya sih gue seneng dan bersyukur udah nyoba ngasdos Gamtuk meski sayangnya cuma satu semester.

6. Ke Bukit Moko
Status: Nggak berhasil :(
Karena 1. Jauh dan 2. Nggak ada kendaraan yang memadai. Tapi kebetulan cowok gue baru ganti motor Vixion yang lebih kuat dipake nanjak, jadi mungkin bisa kesampean kali ya kapan-kapan?

7. Ke Dusun Bambu
Status: BERHASIL!
Sejak tulisan itu dibuat, gue ke Dusun Bambu udah lumayan sering.. 5 kali ada kali yaa. Kalo nggak sama pacar ya sama keluarga. Dan emang enak sih tempatnya, pewe aja gitu, trus bagus lagi pemandangannya. Sekarang malah lebih oke lagi soalnya makin banyak permainan. Ntar kesana lagi ah~

8. Ke pantai mana aja
Status: BERHASIL!
Harusnya sih sama temen-temen dan pacar ya, tapi apa daya kesampeannya cuma sama keluarga. Tapi berhubung gue cuma nulis "Ke Pantai Mana Aja", jadi anggap aja berhasil. Oh ya, pantainya di Lampung, dan cukup bagus lho ternyata. Bukti foto menyusul ya!

9. Jalan-jalan ke luar kota sama temen kuliah
Status: Nggak berhasil :(
Jalan-jalan seninya batal, jadinya pada berangkat sendiri-sendiri itupun yang pengen banget aja. Dan gue nggak ikut. Sama anak unit pun nggak kemana-mana karena ya begitulah, pada mageran dan belom ada kesempatan. Hiks.

10. Ke luar negri lewat jalur akademis
Status: Nggak berhasil :(
Ini mah emang #NgayalBabu. But to be honest gue juga belom liat urgensi buat S2 ke luar selain buat "extend" kesenangan masa kuliah dan punya excuse buat hidup keren. Hahaha. Naif banget ya saya.

11. Bikin commissioned work
Status: BERHASIL!
Kebetulan temen gue ada yang minta buat gambarin karikatur dia, temen-temennya setim lomba, bareng sama satu orang dosen pembimbing timnya, di kertas a4 pake pensil. Padahal susah tuh gue kudu bikin karikatur 5 orang (eh apa 6 ya), mana yang satu bapak-bapak lagi, tapi berhubung gue baik hati dan masih hijau jadi gue patok aja totalnya 100k hehehe. Mayan lah.

12. Ikut ngisi ilustrasi buat antologi di unit
Status: Nggak berhasil :(
Gue juga lupa kenapa nggak dilakukan. Antara nggak ada proyeknya, atau proyeknya nggak cocok, atau guenya males, atau guenya nggak bisa.

13. Ikut submit buat Writing Challenge
Status: Nggak berhasil :(
Lihat alasan nomor 12 yah :-)

14. Nyoba nasi goreng bistik di Astana Anyar
Status: Nggak berhasil :(
Hai mas pacar, jika kamu membaca postingan ini, tolong jelaskan ke pemirsa pembaca blog-ku sekalian kenapa poin ini tidak terealisasi. Huhuhuhuhu.

15. Magang/KP
Status: Nggak berhasil :(
Intinya sih gue mager ninggalin Bandung saat libur dan gue ter-occupied sama hal-hal lain. Jadilah gue baru magang setelah lulus, which is tetep statusnya berarti nggak berhasil karena harusnya sebelum lulus.

16. Ke Bandung Carnival Land
Status: Nggak berhasil :(
Liat alasan no. 14. MAS PACAR MANA MAS PACAR??

17. Naik kereta sama pacar
Status: Berhasil :(
Lho, katanya berhasil, kok sedih? Nah, gue ceritakan sedikit yaa..
Jadi bulan September tahun 2015, temen kita, salah satu anak Divisi Musik Genshiken dari jurusan hukum Unpad, waktu itu koma di rumah sakit Jakarta. Akhirnya gue, pacar, dan dua orang temen dari Divisi Musik inisiatif jenguk dari Bandung, naik kereta karena waktu itu kebetulan lagi promo ke Jakarta 70k. Kesampean kan? Kesampean sih, tapiiii, besoknya temen gue yang koma itu dipanggil Yang Maha Kuasa. Jadi cukup sedih juga kalo inget ini. RIP Era, semoga tenang di sana yaa.

TOTAL: 7 DARI 17 HAL YANG INGIN DILAKUKAN SEBELUM LULUS KULIAH YANG BERHASIL DILAKUKAN.
Kurang dari setengah yang tercapai, yang berarti gue kurang berusaha wakakak. Tapi nggak akan sampe sini aja, karena beberapa poin bakal tetep gue kejar kok. Tunggu tanggal mainnya ya! :-D

Wednesday, August 10, 2016

Ego Orang Kreatif

Awal-awal kuliah seni rupa dulu, gue lumayan sensi kalo denger komentar semacam "enak ya, kuliahnya gambar doang".

Sebel. Soalnya kenyataannya, "gambar doang" itu nggak ujug-ujug lahir, ada prosesnya. Dari mulai nentuin permasalahan yang mau diangkat, nentuin konsep, nentuin visual yang pas, bikin beberapa alternatif, asistensi ke dosen, matengin konsep, asistensi lagi, matengin lagi, gitu terus sampe akhirnya jadi. Ketika denger "kuliah gambar", jangan langsung mikir gambar semacam gambar-gambar portrait artis atau doodle-doodle lucu yang suka ada di Instagram. Buat kuliah seni rupa, "kuliah gambar" ini juga berarti punya konsep, makna, dan visual yang oke tapi nggak terlihat cheesy ataupun preachy. Kepekaan rasa harus diolah, makanya suka bingung 'kan kenapa karya-karya seni di galeri itu banyak yang nggak bisa sekali liat langsung ketebak makna dan latar belakangnya? Belum lagi kalo kudu masukin teori seni, hih!

Tapi, yang dibahas kali ini bukan gimana kuliah gue itu.

Semakin berumur, gue semakin menyadari sesuatu. Kalo ternyata emang kuliah gue "enak, gambar doang". Harus gue akui itu. Kuliah karena emang suka dan kuliah karena butuh itu bedanya jauh banget. Kebetulan gue punya banyak temen anak Teknik, yang bikin gue bersyukur masuk seni rupa tiap kali nggak sengaja liat materi kuliah mereka. Jangan tanya gue kayak apa, karena gue juga nggak ngerti. Sedangkan kuliah seni atau desain, rata-rata orang yang milih pasti karena hobi, hobi gambar. Seumur-umur, gue belom pernah nemu orang yang kuliah Akuntansi karena dia hobi itung-itungan (bukan hobi kali ya, lebih ke minat prospeknya atau emang udah punya dasarnya). Maka dari itu, mahasiswa seni rupa atau jurusan gambar-gambaran lainnya harus banyak-banyak bersyukur udah boleh dan bisa kuliah yang sesuai sama passion. Makanya, makin kesini gue makin ngerti dan makin maklum kenapa temen-temen non seni dan desain seringkali melontarkan pertanyaan di atas.

Kalo dibalik, gue juga iri sama anak-anak non seni. Rata-rata kerjaannya jelas, gajinya lebih gede, dan dimengerti orang tua. Nggak semuanya sih dan nggak mutlak juga, tapi lebih dihargai dan dikenal lah dari kerjaannya anak seni (anggep aja kompensasi karena kuliahnya "enak, gambar doang"). Nggak percaya? Coba tanya aja orangtua lo, atau kakak lo deh, tau nggak apa itu seni grafis? Lebih ngerti mana sama geologi?

Ngomongin soal geologi, gue juga dulu suka sensi tiap ada yang ngira kalo Seni Grafis itu dan Desain Grafis itu sama. Tetot, beda banget meski Seni Grafis emang berperan besar di kelahiran Desain Grafis. Sementara itu, gue belom bisa bedain tiga jurusan ini yang ada di kampus gue: Geologi, Geofisika, dan Geodesi. Tiga-tiganya "Geo", jadi mungkin mempelajari bumi dan permukaannya. Tapi bedanya apa, gue nggak tau. Sama aja jadinya kayak temen-temen gue yang nggak tau bedanya Seni Grafis dan Desain Grafis.

Orang-orang ini butuh edukasi, bukan dinyinyirin. Selama kuliah, gue seriiiing banget nemu nyinyiran serupa (selain dari gue sendiri), yang intinya tentang anak non seni atau desain yang nggak ngerti kerjaan kita (cie kita). Kadang sampe dibikin postingan panjang atau komik segala, lho. Semuanya nyinyir atau ngeluh, tapi jarang ada yang bener-bener ngasih penjelasan. Oke kerjaan lo susah dan bernilai tinggi, tapi di bagian mana dan kenapa? Itu. Btw, ada yang pernah nge-post rumus harga satu karya desain dan menurut gue itu oke banget, tapi gue lupa dimana dan siapa jadi untuk sementara ini sila Google sendiri ya karena gue pun bukan anak desain hehehe.

Gara-gara semasa mahasiswanya suka gitu, kayaknya banyak yang egonya kebawa sampe ke dunia kerja. Jadi gue masuk satu grup Facebook yang isinya banyak pekerja-pekerja industri kreatif gitu, dan beberapa hari sekali ada aja postingan lowongan kerja yang sengaja dinyinyirin karena dirasa terlalu nuntut banyak untuk satu title lah, kurang menghargai profesi lah, apa lah (P.S.: yang bikin lowongan itu biasanya orang HRD). Beberapa emang bener, tapi gue merasa makin kesini makin banyak pekerja kreatif yang whiny. Mbok ya lebih bijak ajalah dalam nerima kerjaan atau klien, kalo keliatannya nggak cocok jangan dipaksain, kalo punya pilihan tapi tetep ngambil dan ternyata nggak sesuai ya telen aja, itu konsekuensi. Ada juga lho yang pake analogi lucu dengan ngebandingin dokter sama desainer, padahal kita semua tau kalo dokter resiko kerjaan dan yang dipertaruhkan sangat amat tinggi (nyawa orang, bos! Makanya sekolahnya paling lama). Desainer paling banter bikin desain misleading. Meski tetep bisa bikin kecelakaan (tergantung desain apa dan implementasi dimana), tapi resikonya keciiil, nggak ada apa-apanya sama dokter. Lo salah desain? Masih bisa ditarik trus direvisi, pait-paitnya paling jadi gunjingan di sosmed. Nggak lama bisa haha hihi lagi. Lo malpraktik? Nggak cuma digunjing di sosmed, lo bakal masuk berita nasional, dibawa ke meja hijau, dan selamat tinggal karir. Masih mau banding-bandingin kerjaan?

Intinya, jangan gede-gede banget lah pride-nya sebagai mahasiswa seni (atau desain). Kalo emang punya temen clueless seperti contoh-contoh yang gue sebutkan di atas, dibawa santai aja, nggak usah nyinyir apalagi dibikin komik (lol), kalo perlu jelasin baik-baik apa aja yang lo kerjain dan pelajarin. Siapa tau setelah dijelasin malah respect dan tertarik, ya toh? Karena most of the time, orang-orang ini bukannya sengaja meremehkan, tapi emang nggak tau gimana proses pembuatan karya anak seni atau desain yang ternyata nggak sesimpel yang mereka pikir, nggak tau apa patokan nilainya, dan lain-lain. Yang mereka tau selama ini, ya, produk jadi.

"Ya cari tau sendiri dong! Usaha kek." Perlu dua arah emang, tapi lo pernah nggak pas lagi senggang Googling soal Teknik Kelautan, kerjaannya apa, di mana, proses kerjanya gimana, dan patokan gaji mereka gimana? Gue sih nggak. Hahahaha. Kalo belom sama-sama ngerti kerjaan satu sama lain, jangan buru-buru marah deh.

Dan tentunya buat kalian yang berasal dari industri berbeda, tolong hargai kita ya hehehe.

Monday, June 13, 2016

New Instagram Algorithm: Yay or Nay?

I've been hearing about how Instagram planned to change its feed algorithm from chronological order into relevancy order, but I thought it was nothing but some hoax or Instagram's own April Fool joke (the news circulated around that time).

Nope, it wasn't.

Few days ago I checked my Instagram and it had already got the new change. I saw how a 14 minutes old post followed by an 8 hours old post then 2 hours old post. I can't help but think that Instagram had turned into a more visual version of Facebook (which happened to be its parent company). But before I rant any further, let's see how this new algorithm works.

The feeds are based mainly on three factors. One, the time when you shared the post. The newer, the higher it'd appear. That's how that 14 minutes old post got into the top of my feed despite still lacking engagement. And speaking of engagement, the second factor is incidentally how much likes and comment your post had managed to snag. Not surprising at all, if you're used to Facebook. And the last factor is, since we talked about 'relevancy order', it's how often the people who will see your post had interacted with you in the past. Basically, it's tailored to our interest, hence the "see the moment you care about first" tagline written on Instagram's official blog. So let's say, I have a friend whose posts I've been commenting on and liking a lot, her post would more likely be prioritized. And if said friend happened to be an Instagram celebrity who gained lots of likes in just minutes, she's pretty much going to be on the top of your feed. Second top, at least, after the most recent post.

For marketers, it's mostly good news or nothing new because your content is going to be shown to the right audience: people who have been engaging with your brand a lot, people who actually cares about your brand. If we're talking logic, the ones who followed your brand's account are already interested in you to some extent. Anyway, one way or another, your post is still going to show up in the 'discover' section for people who hasn't followed your account. Not to mention that this algorithm change came with other updates such as free business profile, paid analytics, and paid post promotion.

However, to ordinary non-commercial users, this might came off a bit repulsive, especially for small time users. It's already hard enough to gain organic reach and more engagements before the change, now your post is going to to be swept to the bottom. I'd say this update is in favor of already popular, established users with a fixed or growing number of audience. Also, since we're ordinary human being with ever-changing interests, is the new algorithm really needed?

But, look at the bright side.

With this kind of algorithm, we're encouraged to make better post to garner attention and encouraged to engage more with other users we care aboutmaking Instagram a growing community of enthusiastic people with better contents. Also remember that we still have the option to turn on notification, in order not to miss out on our favorite user's every updates. Also remember that all post will still be shown on your feed, just not in a chronological order. You can always scroll down.

So, how do you think? As for me, I honestly prefer all things fair with chronological order, but this doesn't stop me to use Instagram either.

Sunday, April 17, 2016

My New Favorite Manga: AJIN!

Kalo beberapa hari lalu gue ditanya, "Ces, komik horror-seinen favorit lo apa?" gue mungkin akan menjawab I Am a Hero. Tapi sekarang, kalo gue dikasih pertanyaan yang sama, gue akan menjawab dengan mantap:

Ajin.


Ajin (亜人) adalah serial komik Jepang yang ditulis dan digambar oleh Gamon Sakurai. Ajin mulai diterbitin tahun 2012 di majalah komik dwibulanan good! Afternoon yang berada di bawah naungan Kodansha. Walau terbit sejak tahun 2012 dan serialisasi Bahasa Inggris-nya udah ada sejak tahun 2014 silam, judul Ajin mungkin baru familiar di telinga penggemar Jejepangan di Indonesia tahun 2015 kemaren, karena komiknya sendiri baru mulai diadaptasi jadi film animasi trilogi akhir tahun lalu dan tahun ini baru muncul serial anime serta film keduanya.

Simpelnya, Ajin ini bercerita soal manusia immortal yang disebut Ajin atau demi-human. Selain nggak bisa mati, Ajin juga bisa mengeluarkan suara yang bisa membuat manusia biasa yang mendengarnya tidak bisa bergerak untuk sementara. Masih kurang? Well, Ajin juga punya semacam penjaga, petarung, atau pembantu pribaditergantung gimana tiap Ajin manfaatinnyaberbentuk bayangan humanoid yang disebut 'ghost' (tuh ada di cover) yang cuma bisa dilihat sesama Ajin. Ceritanya, keberadaan Ajin pertama kali diketahui 17 tahun yang lalu dan sampai saat ini sudah ada puluhan yang terkonfirmasi keberadaannya di penjuru dunia. Jepang, yang tentunya menjadi setting dari komik ini, sejauh ini punya 2 orang Ajin. Tapi jumlah itu bertambah ketika Nagai Kei, siswa SMA yang bercita-cita jadi dokter dan hobi belajar, ditabrak truk ketika sedang menyebrang jalan sepulang sekolah. Seperti yang diduga, tokoh utama kita ini nggak mati meski tubuhnya udah hancur berceceran. Di tengah keramaian jalan, tubuh Kei beregenerasi dan menjadi segar bugar seperti sedia kala. Jelas, sejak itu Kei diburu stasiun TV, agen negara yang ingin mengamankan Ajin (baca: dibuat hak milik dan dijadikan kelinci percobaan), dan orang-orang biasa yang ingin menangkap Kei lalu menyerahkannya pada pemerintah karena iming-iming imbalan yang besar. Untungnya, Kei masih punya Kaito, teman masa kecilnya, yang bersedia buat bantu dia kabur. Tapi tentunya pelarian mereka tidak semulus itu. Banyak hal-hal yang terjadi; keberadaan Ajin yang tadinya dianggap banyak orang sebagai hoax, perlahan dianggap sebagai ancaman serius untuk negara. Ajin yang tadinya keliatan langka, mulai satu-satu memunculkan dirinya dengan agenda yang berbeda-beda pula. Yap, mereka ternyata selama ini hidup di antara manusia biasa. Singkat cerita, dari situlah muncul banyak konflik.

Karena dasarnya memang lebih suka baca komik (plus males kalo harus download satu-satu film dan serial anime-nya), gue memutuskan untuk nyoba ngikutin Ajin dari komiknya. Baca scanlation tentunya, karena sayangnya komik Ajin belum diterbitkan di Indonesia. Awalnya gue nggak expect macem-macem, cuma gue sempet mikir kalo komik ini bakal jadi survival horror gitu. Ternyata gue salah. Meski genre-nya horror, tapi nyatanya suasana mencekam yang ditampilkan kebanyakan bukan dari penampakan sosok ghost yang mirip monster atau hantu, tapi lebih dari ketegangan skenario dan tiap karakternya. Jadi buat yang tadinya mikir-mikir buat baca Ajin karena takut komik yang serem-serem, tenang aja, Ajin nggak serem kok. Gore juga ternyata nggak kok, meski memang ada beberapa adegan tubuh yang terpotong tapi potongannya rapi (oke gue nggak tau harus deskripsiin gimana) dan nggak bikin mual. Dibanding komik horror, sebenernya lebih tepat kalo Ajin disebut komik action. Dan meski ini komik seinen, sejauh ini nggak ada adegan dewasa yang perlu dicemaskan. Cukup friendly lah buat yang baru menggeluti genre seinen.

Tes, menurut lo ini udah gore belom? Kalo iya dan nggak kuat, berarti jangan baca.

Biasanya, kalo gue baca satu komik seinen yang serius dan merasa kayak lagi nonton film, itu indikasi pertama kalo komik yang gue baca itu bagus. Terakhir gue ngerasa kayak gitu waktu baca Monster-nya Naoki Urasawa dan I Am a Hero-nya Kengo Hanazawa. Waktu baca Ajin, yap, gue kembali merasakan pengalaman serupa. Pembaca dibawa untuk melihat gimana Kei yang baru aja tau kalo dirinya bukan manusia biasa dan diburu banyak orang perlahan menunjukkan sisi aslinya dan terlibat ke hal-hal yang jauh lebih kompleks dari sekedar melarikan diri. Bukan imajinasi gue aja, karena memang alur dan plotnya diceritakan dan digambarkan dengan cukup rapi. Dalam komik ini, kebetulan babak-babaknya jelas. Alurnya maju. Suasana yang dibangun berhasil bikin pembaca, atau setidaknya gue, untuk semangat mendalami dan mengikuti ceritanya. Beberapa panel yang sengaja digambar dalam porsi besar (dengan detail yang, ya Allah, aku ingin kembali kuliah drawing) memang efektif buat menangkap momen-momen krusial dalam komik ini dan memberi efek sinematik.

Kalo dikeluarin dari konteksnya, satu halaman ini emang kesannya sepele. Apaan coba satu halaman buat bapak-bapak minta rokok doang. Tapi kalo ngikutin ceritanya mungkin bakal bergumam dalam hati: anjir keren lah.

Dari segi penceritaan, gue pribadi nggak ada masalah. Dan oh, meski gue emang nyebut komiknya Urasawa, Ajin nggak seberat itu dan mudah dicerna kok. Tipe komik yang bisa dibaca sekali duduk dan nggak bikin mumet mikirin ini itu. Dialognya nggak banyak dan kebanyakan langsung to the point, tanpa muter-muter dengan teori-teori berat biar komiknya keliatan pinter dan berbobot. Justru, lucunya, kalo ada obrolan yang menjurus ke teori yang berat dikit, either si tokoh yang bersangkutan bakal ngejelasin pake analogi atau dimunculin ilustrasi ala buku anak-anak yang mudah dimengerti. Bahkan di satu titik tokohnya beneran nyuruh Googling pake keyword tertentu. Kurang baik apa coba Gamon Sakurai? :))

Sebagai komik yang sedikit banyak menyinggung masalah kemanusiaan terutama tentang diskriminasi dan pentingnya hidup seseorang, Ajin nggak lantas jadi komik yang super sentimentil. Meski gue penyuka komik dengan cerita tearjerker, gue sangat suka Ajin karena kita bakal berdebar-debar bukan karena adegan sedihnya, tapi karena kemampuan tiap karakter dan suspens yang dibangun ceritanya. Selain itu, tema immortal juga bukan tema yang nggak umum dalam dunia komik, dan Ajin lebih main di aspek pahitnya jadi makhluk immortal dan penggunaan ke-immortal-an seseorang yang tepat guna dalam pertarungan (lah kayak judul skripsi). Jadi nggak sesimpel "gimana caranya manusia biasa bisa mengalahkan makhluk immortal??" seperti yang gue kira sebelum membaca komiknya. Definisi dan kondisi immortal yang dijabarkan di Ajin pun masih punya banyaaak banget kemungkinan untuk digali.

Soal gaya gambar, gue rasa cukup superior terutama dibanding animenya. Seperti kebanyakan komikus seinen, gaya gambar Gamon Sakurai di Ajin ini cukup realis dan saaangat detail. Nilai plus karena gue suka gaya gambar semacam itu. Bahkan beberapa panel mungkin bakal bikin lo lupa kalo lagi baca komik Jepang. Tapi meski gitu, overall gaya gambarnya masih keliatan Jepang banget kok, cukup Jepang untuk bikin beberapa karakter keliatan ikemen atau shota atau moe atau apalah itu namanya. Kalo suka gaya penggambaran semacam Akira-nya Katsuhiro Otomo, mungkin nggak masalah sama Ajin.


Selain disuguhi gaya gambar yang sungguh aduhai, pembaca juga akan disuguhi banyak sekali adegan action. Seperti yang gue bilang sebelumnya, komik ini lebih cocok disebut komik action karena emang porsi action-nya cukup banyak; nggak mau ngasih banyak spoiler, tapi intinya dari mulai main kucing-kucingan, tonjok-tonjokan, cakar-cakaran, sampe tembak-tembakan kolosal ada lah. Dan nggak cuma asal bak buk bak buk dor dor mati, adegan action yang ditampilkan di komik Ajin cukup taktis dan cerdas. Lagi-lagi, gue nggak mau ngasih spoiler lebih banyak, tapi intinya beberapa adegan sangat menggugah hati dan adrenalin sampe bikin pengen bilang "anjing".

Perhatian: ini bukan fanart poster The Raid.

Last but not least, karakternya! Karakter-karakter Ajin, terutama sang protagonis utama dan antagonis utama, adalah satu poin yang bikin komik ini stand out. Buang jauh-jauh imej protagonis komik Jepang yang biasanya sangat shounen alias punya rasa keadilan dan kemanusiaan yang tinggi, suka menolong, serta mau berkorban untuk orang lain, karena Kei nggak kayak gitu. Menurut gue, dia malah jatuh di spektrum anti-hero. Mungkin di chapter-chapter awal Kei terlihat biasa, tapi makin kesini kita makin ditunjukkan kalo Kei menganut prinsip semacam "Gue bakal bantuin lo hidup karena lo masih berguna buat gue. Tapi kalo gue nggak kenal lo, ngapain gue nolongin lo?". Intinya, Kei punya kecenderungan sociopath yang cukup tinggi dan kurang bisa merasakan yang namanya empati. Penokohan yang cukup berani menurut gue, karena hal ini malah bisa jadi bumerang yang bikin banyak pembaca ilfil atau males (sumber: komen-komen scanlation-nya), terutama yang udah terbiasa dengan ide bahwa protagonis utama harusnya seseorang yang bisa di-relate pembaca dan sosok baik yang bisa jadi idola. Tapi nggak tau ya, mungkin seiring ceritanya berjalan, bisa aja karakternya berubah.

..Ini jatohnya meta joke apa bukan ya? :))

Kalo soal antagonisnya, gue nggak mau komentar banyak selain bilang kalo orang itu setan. Setan yang jenius, penuh perhitungan, dan karismatik, hahaha. Saking hebatnya si antagonis ini, gue liat di komen sih pembaca justru banyak yang lebih suka dan mendukung antagonisnya dibanding Kei. Mungkin, mungkin lho yaa, rasanya hampir sama kayak perasaan pembaca komrik yang ngidolain Joker. Karakter-karakter pendukungnya juga rata-rata cukup solid dan nggak semena-mena cuma jadi plot device, meski nggak semuanya lovable dan ada beberapa yang gue pertanyakan nasib dan perannya di komik karena kemunculannya singkat, keliatan signifikan tapi nggak (belom?) muncul lagi. Satu-satunya yang gue sayangkan adalah: tokoh ceweknya pelit banget ya Allah. Mungkin yang punya speaking role dan terus-terusan ada cuma satu orang. Gue nggak tau pembaca lain ngeliatnya gimana, tapi menurut gue ini salah satu kekurangan Ajin. Hiks. Yah, gapapa deh, daripada kebanyakan tokoh cewek tapi perannya cuma sebagai pemanis, penyedia fanservice, atau love interest tokoh-tokoh cowoknya dan nggak guna.

Akhir kata, kalo lo suka komik semacam Tokyo Ghoul atau Kiseijuu, suka action, suka genre seinen secara umum atau pengen baca seinen tapi nggak mau banyak mikir, dan nggak masalah sama tokoh utama yang beda banget sama tokoh utama komik shounen, lo wajib nyoba baca Ajin. Dijamin ketagihan, karena Ajin isinya MSG doang. Eh, itu Ajinomoto yah. (JAYUS, KAK. TOLONG.) Tapi bener kok soal ketagihannya.

Hayuk guys, baca komiknya biar demand-nya naik dan diterbitin di Indonesia. Hehehe.

P.S.: Komikusnya alias Gamon Sakurai kayaknya melek banget sama pop culture dan suka banget main gim FPS. Banyak referensinya. Hehehe.

P.S.S.: Setelah ngecek di toko buku, ternyata Ajin sudah diterbitkan oleh Level Comics hingga jilid 2. Yay!

This Post is Reserved If I Ever Feel Like Writing Something Sappy About My College Life

Notice anything strange on my sidebar?

On the 'about me' section?

No? Okay..

I'm a college graduate now.

That's it.

Friday, March 11, 2016

TAnTAngan Kemaren

Sebenernya ini kebalik kronologi kejadiannya dan jadinya nggak terlalu klimaks, tapi ya sudahlah. Namanya juga doodle nggak pake mikir.



Reaksinya saja:

Ya. Doakan aku ya gaes :"3

Thursday, February 18, 2016

How I Met Your.. Make Up.

Apa?! Cessi nulis tentang make up?!

..Yha. Gue emang termasuk telat mainan make up (baru pas umur 21, hahaha), karena sebelumnya 1) Gue merasa nyaman dan cantik-cantik aja tanpa make up *hih pede*, 2) Gue suka merasa risih kalo pake make up, terutama kalo eyeliner dan lipstik yang kadang bikin mata kerasa berat dan bibir kerasa dikapurin, dan 3) Gue mau meminimalisir penggunaan produk yang bisa ngerusak muka, karena sebelom pake make up gue kadang suka jerawatan dan males cuci muka *maap*,

Nah, buat yang punya pemikiran sama kayak gue di atas, well--kekhawatiran lo akan hilang seiring lo kenal make up. Kenapa?

1) "Gue merasa nyaman dan cantik-cantik aja tanpa make up"
Sejak kenal make up gue justru kurang pede kalo ke luar tanpa pake apa-apa, minimal pake lip balm berwarna biar bibir nggak kering. Bukannya mau ngajarin buat nggak mencintai wajah lo apa adanya, tapi ada kalanya lo memang perlu tampil cantik sedikit dengan make up, contohnya pas jalan sama temen-temen atau ke acara semi-formal. Yap, kalo temen-temen lo pada mulai make up juga, niscaya lo juga bakal tertarik sedikit demi sedikit kok. Pake make up juga bikin kita terlihat lebih bagus di foto, nggak kucel gitu. Buat gue yang bulu matanya pendek dan warna bibir naturalnya agak gelap ini, yang namanya eyeliner dan lipstik ngebantu banget. Alis gue pun, meski lumayan keliatan, tebelnya nggak merata dan perlu dibantu pensil alis (meski gue nggak selalu make).

2) "Gue suka merasa risih kalo pake make up, terutama kalo eyeliner dan lipstik yang kadang bikin mata kerasa berat dan bibir kerasa dikapurin"
Sejak kecil, kakak sepupu gue banyak yang nikah dan gue pasti selalu didandanin. Gara-gara ini, gue jadi males pake make up karena inget rasanya pake make up yang beraaat banget. Mau makan aja risih karena bibir berlipstik, apalagi kalo mata dikasih eyeliner cair dan bulu mata palsu yang suka bikin perih. Belom lagi ngapusnya, duh, pe er banget! Suatu ketika, kira-kira setaun lalu, keluarga gue mau bikin foto keluarga formal di studio foto. Didatengin lah satu orang make up artist (MUA) buat ngerias gue, nyokap, kakak gue, dan kakak ipar gue. Pas giliran gue, gue udah mewanti-wanti untuk make up natural aja. Dan ternyata.. Hasilnya bagus banget! Nggak menor dan nggak berat kayak pas make up di kawinan, padahal gue di-make up-in lengkap. Faktor MUA-nya juga sih, karena MUA kawinan yang ngeriasin gue waktu kecil biasanya udah ibu-ibu, sedangkan MUA yang ngerias gue pas foto itu masih agak muda, makanya ngerti kemauan gue. Gue yang tadinya benci banget sama eyeliner cair, sekarang malah suka banget make hahaha. Kayaknya sih seiring lo dewasa rasa risih lo lama-lama juga akan terkalahkan oleh rasa amazed lo dalam melihat gimana satu produk sukses bikin lo terlihat cantik, ya semacam kompromi gitu, gapapa berat dikit yang penting terlihat cantik (beauty is pain, yo). Kesimpulan gue: make up itu nggak berat, bikin risih, terlihat menor, ataupun bikin lo terlihat tua selama lo pinter-pinter milih dan makenya. Milih sih, terutama. Sejak itu, gue jadi rajin baca-baca review make up yang ringan di muka dan bagus buat pemula. Banyak kok beauty blogger lokal, apalagi rata-rata nyertain foto hasil jadinya di muka dia, jadi nggak usah bingung. Nanti gue juga bakal bikin review singkat soal make up yang gue pake sekarang, yang tentunya harganya rata-rata murah meriah karena budget mahasiswa hehehe.

3) "Gue mau meminimalisir penggunaan produk yang bisa ngerusak muka"
Sebenernya, pake nggak pake make up itu sama aja kalo lo pada dasarnya males bersiin muka. Gue buktinya. Sebelom pake make up, gue suka jerawatan, kadang sampe muncul satu yang gede banget dan ujungnya warna putih (HIIIIIH jorok lu ces). Tapi sejak mulai coba-coba pake make up, otomatis gue jadi suka bersiin muka (mau nggak mau, karena nggak mungkin dong lo tidur make up-an?) dan cuci muka. Hasilnya? Jerawat gue berkurang drastis. Muka gue juga ada yang bilang sih putihan. Itu baru gue lho, yang cuma modal make up remover, cleansing milk, toner, dan sabun muka. Belom lagi cewek-cewek cantik rajin dandan yang ngerawat muka pol-polan sampe rajin ke dokter kulit. Jadi intinya sih gitu; make up, in a way, justru bikin lo yang tadinya males ngerawat muka jadi rajin. Kalo emang nggak mau jerawatan, kuncinya sih cari make up dan pembersih yang tepat. Jangan pilih yang KW atau belom terdaftar di BPOM. Kalo pas dipake ternyata bikin iritasi atau langsung muncul pimple outbreak (bruntusan), ya, jangan dilanjutin. Balik ke poin 2, rajin-rajin aja nyari tau produk yang bagus atau minta saran temen/sodara/mama, mana yang kira-kira cocok di kulit lo.

..Begitulah.

Jujur aja, gue belom merasa butuh belajar full make up kayak yang suka ada di tutorial-tutorial YouTube. Beli base make up aja males (dan bingung sih sebenernya). Tapi menurut gue tertarik sama make up aja udah langkah besar banget bagi diri gue, hehe. Jadi saran gue, jangan buru-buru ngeklaim anti make up atau gimana. Cobain dulu aja, kalo ternyata emang cocok atau mulai merasa tertarik, jangan dilawan (lha kayak apaan aja). Kalo pun ternyata udah bertahun-tahun tetep merasa nggak suka, ya gapapa. Banyak kok, temen dan sodara gue yang usianya jauh lebih tua tapi tetep nggak suka make up. Asal inget aja: sebagai cewek, pasti bakal muncul yang namanya keadaan dimana kita dituntut untuk pake make up. Jadi nggak ada salahnya lho kalo belajar make up sedikit untuk dikerahkan pada waktu-waktu kayak gitu, atau minimal cari tau jenis-jenis make up dan gaya yang cocok di kita biar pas kita didandanin orang, kita nggak clueless-clueless amat dan berakhir dengan muka bete dan make up menor. Semoga berhasil!