Friday, December 4, 2015

Other Series to Binge-Watch

Beberapa postingan sebelum ini, gue sempet nge-post review gue tentang beberapa judul TV series yang baru aja gue ikuti. Cek postingannya disini. Nah, kali ini gue mau bikin lagi review singkat ala ala soal beberapa series yang baru gue tonton sebagai pelarian TA, termasuk salah satunya anime. Aduh, gue bersyukur sekali hidup di era internet dimana bisa bebas ngakses tontonan yang nggak ditayangin di negara sendiri dan bersyukur juga difasilitasi internet mumpuni dari kosan (meski belakangan mati nyala). Oh ya, terima kasih juga kepada teman-teman yang selama ini telah berbaik hati membagikan koleksi TV series-nya via harddisk. Entah apa jadinya gue tanpa teman dan akses internet (mungkin ngerjain TA).

Singkat cerita, setelah hiatus singkat selama beberapa bulan dari perhelatan TV series karena ceritanya mau fokus TA, awal bulan November kemaren gue tergoda untuk menonton Fear the Walking Dead. Kenapa FTWD? Kenapa nggak The Walking Dead-nya aja? Karena selain udah pewe banget sama komiknya (maaf maaf nih ya, selain nggak sama kayak komiknya, gue merasa TV series-nya overrated. Kenapa Daryl Dixon malah jadi primadona?! Kenapa Rick Grimes kayak hilang kharismanya?!), TWD juga udah 6 season, cuy. Meanwhile, FTWD baru keluar satu season yang isinya cuma 6 episode (less commitment, yay!), masing-masing berdurasi sejam. Ceritanya pun prekuel, jadi nggak harus nonton TWD dulu biar bisa ngerti. Sebagai penggemar cerita zombie, gue sih sangat amat tidak menyesal nonton FTWD. Walau pace-nya agak lambat—yang gue baca sih emang this series is supposed to be a slow-burner—tapi gue justru suka banget yang kayak gini dibanding zombie outbreak super kilat ala film World War Z. Yang ditampilkan di season pertama ini adalah transisi antara dunia yang masih baik-baik saja dan awal mula zombie apocalypse itu sendiri; perlahan-lahan lo dikasih liat gimana orang-orang mulai banyak yang ngilang, muncul kerusuhan, reaksi orang sama zombie-zombie yang baru bermunculan, sampe kota Los Angeles mulai luluh lantak dan ditinggalkan. Atmosfer dan setting-nya terasa natural dan well-crafted. Pokoknya lo akan dimanjakan sebagai penggemar cerita zombie. Karakter-karakternya pun surprisingly diverse dan nggak one-dimentional. Bukan cerita zombie namanya kalo nggak pake konflik keluarga, dan kebetulan keluarga jadi tema utama dalam series ini. Jadi di FTWD kita akan dikenalkan pada tiga keluarga yang bareng-bareng berlindung dari ancaman zombie-zombie, bukan sekumpulan survivor yang kebetulan ketemu dan baru kenal satu sama lain. Oh ya, agak jarang nih cerita zombie yang tokoh utamanya remaja, tapi di FTWD ini ada 3 orang; satu di antaranya seorang pecandu narkoba. Nah lho.
Bapaknya mirip Jeremy Thomas nggak sih kalo diliat-liat? Wkwkwk.
Berkat FTWD, gue jadi balik lagi ketagihan TV series dan pengen cari tontonan lagi. Gue coba Supergirl, serial baru keluaran CBS tentang sepupu superhero DC paling ikonik, Superman. Gue tertarik karena liat trailer-nya yang lucu dan sedikit banyak bikin inget film The Devil Wears Prada, karena Supergirl alias Kara Danvers disini diceritakan adalah seorang asisten dari Cat Grant, bos perusahaan media ternama CatCo. Nah, tokoh Kara Danvers ini kayak tokohnya Anne Hathaway di film The Devil Wears Prada dicampur Clark Kent—penurut sama bosnya yang tegas, tapi diam-diam punya potensi dan bakat yang besar serta idealisme sendiri. So.. Did I like it? So far gue baru sampe episode 3, dan itu karena ternyata series-nya kurang menarik buat gue. Not that hooking. Format dan feel-nya mirip banget sama The Flash, yang tentunya lo tau kalo baca review gue di postingan satunya: repetitif banget! Per episode penjahatnya selalu beda, and as you'd expect; the resolution is, eventually, Supergirl will save the day. Tapi kalo lo suka format ala series tokusatsu atau sentai gini sih harusnya nggak masalah ya. Sebenernya banyak aspek menarik yang bisa dieksekusi lebih baik sih, contohnya ya day job-nya si Supergirl atau personal struggle-nya entah dengan apa, cuma yang gue liat jatohnya jadi cheesy dan cepat selesai. Masih menyenangkan sih untuk ditonton, tapi gue sepertinya memilih untuk tidak melanjutkan. Nggak tau karena gue secara tidak sadar lebih suka series yang 'gelap gelap' atau emang eksekusi Supergirl dan The Flash aja yang kurang oke (hell, Gotham yang harusnya 'gelap' aja gue nggak suka karena emang jelek), tapi gue belom merasa klop sama series-series-nya DC. Maaf DC, film mungkin bisa didebatkan, tapi soal series, Marvel lebih juara.

There, I said it. Marvel lebih juara. Jadi pas Jessica Jones udah keluar semua episode-nya, langsung aja gue tonton seharian. Tadinya gue berniat buat cuma batesin diri satu episode per hari, tapi.. Jessica Jones terlalu hooking! Ceritanya emang banyak yang beda dari komiknya (Alias), tapi cukup solid, kok. Ada sih beberapa aspek yang cringeworthy kayak latar belakang Purple Man (yang pada series ini tidak dikenal dengan nama tersebut dan hanya dipanggil 'Kilgrave') ataupun final confrontation-nya yang tidak se-bombastis yang gue harapkan, but that's okay. Banyak aspek lain yang patut diacungi jempol, kayak anxiety (or PTSD?) issue-nya si Jessica, persahabatannya Jessica dan Trish, which is, harus gue akui sangat menarik dan dalam (maaf ya Foggy, tapi penghargaan Tokoh Sahabat Terbaik jatuh pada Trish. Hehehe). Gue nggak biasanya suka tokoh 'sahabat superhero' yang pada ujungnya jadi bumbu doang, tapi Trish cukup lovable and their friendship goes beyond that karena mereka ternyata tumbuh besar bersama dalam satu keluarga. Banyak karakter menarik disini, tapi jangan terlalu attached ya, karena siapa tau karakter itu tidak berumur panjang, hihihi. Dan ya, seperti Daredevil, series Jessica Jones ini juga berformat sama, dimana satu season dihabiskan untuk menyelesaikan satu masalah. Bahkan tema dan atmosfirnya mirip-mirip. Di postingan satunya gue bilang 'kan Daredevil tergolong noir? Naaaah, kalo dibandingin sama Jessica Jones sih, wah belom ada apa-apanya. Tema dewasanya lebih kuat, jadi jangan ditonton sama adik yah. Series-nya neo-noir banget, lebih banyak menitikberatkan di unsur psikologis dan detective play-nya. So yeah, expect a lot of investigating, stalking, disguising, and interrogating. Tenang, adegan aksi masih tetap banyak kok (ada Luke Cage juga!).Worth it banget lah seharian ngabisin 13 jam++ buat nonton satu season Jessica Jones. Easter eggs-nya juga lumayan banyak.

To people who thinks Jessica Jones is mediocre or overrated:

Merasa kosong setelah ngelarin Jessica Jones, gue mencoba satu series yang banyak diomongin dan direkomendasikan orang-orang di sosmed, yaitu Mr. Robot. Gue cek ratingnya; gila, 8.9/10 di IMDb dan 98% aja dong di rottentomato! Premisnya sih terdengar simpel ya, tentang sekumpulan hacker bernama fsociety yang berusaha nge-hack korporasi paling berkuasa di dunia, E Corp, yang diharapkan akan menghapuskan jejak hutang semua orang, menimbulkan economic meltdown, dan mengubah dunia. Small group, big agenda. Banyak istilah-istilah teknis dalam series ini, ceritanya yang berat dan cukup menggali sisi psikologis tokoh-tokohnya pun bikin yang nonton Mr. Robot harus mikir, jadi kalo berharap popcorn movie atau tontonan ringan, mending jangan nonton ini ya (apalagi kalo badan capek dan ngantuk abis ngelarin Jessica Jones, hahaha). Storyline dalam Mr. Robot ini terbagi jadi beberapa masalah, semuanya secara langsung atau tidak langsung terikat sama sang tokoh utama, Elliot, dan tujuan fsociety yang gue tulis di atas. Emang harus gue akui series ini berat, banyak monolog panjang yang terpaksa gue skip karena bosan, dan banyak sisi teknis yang nggak gue mengerti (kecuali anak IT mungkin), tapi gue cukup menikmati series ini kok. Penampilan aktor dan aktrisnya banyak yang keren, gue pribadi suka Tyrell Wellick dan istrinya Joanna. Banyak juga isu sosial politik yang disinggung disini. My final verdict is: Mr. Robot is recommended, meski bukan prioritas gue kayak Jessica Jones atau GoT, misalnya. Btw, ada plot twist di dua episode terakhir, jadi bersabar dan tonton sampai selesai yah!

Untuk menetralkan tontonan-tontonan berat di atas, gue juga nonton Community. Seperti Mr. Robot, Community ini banyak direkomendasiin orang-orang, bedanya Community ini series lama. Intinya sih, sitkom tentang orang-orang yang kuliah di Community College (semacam D3 atau Universitas Terbuka kali ya kalo disini). Dibilang lucu apa nggak sih lucu ya, namanya juga sitkom, bahkan humornya lebih banyak per episode daripada Parks and Rec. Jenis humornya juga macem-macem, dari yang segmented karena nyerempet pop culture sampe dry humor ataupun pun jokes. Tokohnya diverse, unik-unik, dan nggak ada yang overlap, bahkan ada yang kadang suka breaking the fourth wall. Community ini satu season-nya biasanya sih berkutat di satu masalah sebagai latar belakang, tapi per episode-nya jarang yang bener-bener nyambung kok. Yang gue suka, selain penokohannya yang bener-bener unik dan nggak overlap tadi, kadang ada episode spesial kayak Halloween yang tiap season ada, atau selipan Community versi kartun. Kadang episode-nya trippy banget malah, hahaha. Yang gue nggak suka dari Community palingan romance-nya yang agak.. Dipaksain? Banyak hint-hint yang ditampilin sih di antara dua karakter yang romantically potential, tapi tetep aja rasanya kurang nyambung (subjektif sih emang: Jeff dan Annie masih rada gue maklumi, but Troy and Britta? Reaaaally?). Mungkin emang sitkom harusnya seperti itu ya, gatau sih. Gue baru sampe season 4 karena nggak kayak Parks and Rec dimana gue bisa marathon terus-terusan, gue nggak segitunya bersemangat nonton Community, biasanya buat selingan aja kalo abis nonton yang berat-berat atau lagi nganggur dan butuh hiburan. Tonton aja sih, oke kok.

Oh ya hampir lupa, gue bilang kan di awal kalo ada anime juga? Nah, anime yang gue maksud sayangnya bukan One Punch Man atau Digimon Tri yang lagi hype, tapi.. FLCL alias Fooly Cooly alias Furi Kuri. Iye telat banget emang gue baru nonton FLCL setelah 15 tahun, tapi gue nggak nyesel, karena ternyata anime-nya bagus. Rasanya udah lama deh nggak nonton anime (bukan animated movie lho ya!) yang bagus. Awal penceritaannya mungkin bikin bingung dan rada nyeleneh, tapi makin ke belakang makin jelas kok, makin bikin kita gak peduli dan lebih nikmatin anime-nya malah. Oh ya, ceritanya gak jauh-jauh dari mecha (yang baru gue ketahui belakangan setelah menonton), sci-fi, action, drama, dan comedy. Kalo tau studio animasi yang ngeproduksi FLCL ini Gainax, pasti nggak heran sih, karena emang tone dan art style-nya cukup mengingatkan pada Gurren Lagann dan Neon Genesis Evangelion yang dibuat oleh studio yang sama. Selain penceritaannya yang kadang ngawur dan subtle, gue juga suka penokohannya (Mamimi best girl!), art style-nya, dan pastinya soundtrack-soundtrack alt-rock-nya. Gue pengen nge-review panjang tapi kapan-kapan aja deh, intinya coba nonton dulu aja FLCL, unik soalnya. Di satu sisi menghibur, tapi di satu sisi agak depressing. Kalo bukan penggemar mecha atau anime gapapa, gue juga bukan penggemar mecha dan udah males nonton anime tapi suka tuh sama anime ini. Toh cuma 6 episode dan masing-masing berdurasi 25 menitan hehehe.


Jadi? Tertarik untuk prokras nugas dan binge-watching salah satu series yang gue sebutkan di atas? :-P