Friday, December 4, 2015

Other Series to Binge-Watch

Beberapa postingan sebelum ini, gue sempet nge-post review gue tentang beberapa judul TV series yang baru aja gue ikuti. Cek postingannya disini. Nah, kali ini gue mau bikin lagi review singkat ala ala soal beberapa series yang baru gue tonton sebagai pelarian TA, termasuk salah satunya anime. Aduh, gue bersyukur sekali hidup di era internet dimana bisa bebas ngakses tontonan yang nggak ditayangin di negara sendiri dan bersyukur juga difasilitasi internet mumpuni dari kosan (meski belakangan mati nyala). Oh ya, terima kasih juga kepada teman-teman yang selama ini telah berbaik hati membagikan koleksi TV series-nya via harddisk. Entah apa jadinya gue tanpa teman dan akses internet (mungkin ngerjain TA).

Singkat cerita, setelah hiatus singkat selama beberapa bulan dari perhelatan TV series karena ceritanya mau fokus TA, awal bulan November kemaren gue tergoda untuk menonton Fear the Walking Dead. Kenapa FTWD? Kenapa nggak The Walking Dead-nya aja? Karena selain udah pewe banget sama komiknya (maaf maaf nih ya, selain nggak sama kayak komiknya, gue merasa TV series-nya overrated. Kenapa Daryl Dixon malah jadi primadona?! Kenapa Rick Grimes kayak hilang kharismanya?!), TWD juga udah 6 season, cuy. Meanwhile, FTWD baru keluar satu season yang isinya cuma 6 episode (less commitment, yay!), masing-masing berdurasi sejam. Ceritanya pun prekuel, jadi nggak harus nonton TWD dulu biar bisa ngerti. Sebagai penggemar cerita zombie, gue sih sangat amat tidak menyesal nonton FTWD. Walau pace-nya agak lambat—yang gue baca sih emang this series is supposed to be a slow-burner—tapi gue justru suka banget yang kayak gini dibanding zombie outbreak super kilat ala film World War Z. Yang ditampilkan di season pertama ini adalah transisi antara dunia yang masih baik-baik saja dan awal mula zombie apocalypse itu sendiri; perlahan-lahan lo dikasih liat gimana orang-orang mulai banyak yang ngilang, muncul kerusuhan, reaksi orang sama zombie-zombie yang baru bermunculan, sampe kota Los Angeles mulai luluh lantak dan ditinggalkan. Atmosfer dan setting-nya terasa natural dan well-crafted. Pokoknya lo akan dimanjakan sebagai penggemar cerita zombie. Karakter-karakternya pun surprisingly diverse dan nggak one-dimentional. Bukan cerita zombie namanya kalo nggak pake konflik keluarga, dan kebetulan keluarga jadi tema utama dalam series ini. Jadi di FTWD kita akan dikenalkan pada tiga keluarga yang bareng-bareng berlindung dari ancaman zombie-zombie, bukan sekumpulan survivor yang kebetulan ketemu dan baru kenal satu sama lain. Oh ya, agak jarang nih cerita zombie yang tokoh utamanya remaja, tapi di FTWD ini ada 3 orang; satu di antaranya seorang pecandu narkoba. Nah lho.
Bapaknya mirip Jeremy Thomas nggak sih kalo diliat-liat? Wkwkwk.
Berkat FTWD, gue jadi balik lagi ketagihan TV series dan pengen cari tontonan lagi. Gue coba Supergirl, serial baru keluaran CBS tentang sepupu superhero DC paling ikonik, Superman. Gue tertarik karena liat trailer-nya yang lucu dan sedikit banyak bikin inget film The Devil Wears Prada, karena Supergirl alias Kara Danvers disini diceritakan adalah seorang asisten dari Cat Grant, bos perusahaan media ternama CatCo. Nah, tokoh Kara Danvers ini kayak tokohnya Anne Hathaway di film The Devil Wears Prada dicampur Clark Kent—penurut sama bosnya yang tegas, tapi diam-diam punya potensi dan bakat yang besar serta idealisme sendiri. So.. Did I like it? So far gue baru sampe episode 3, dan itu karena ternyata series-nya kurang menarik buat gue. Not that hooking. Format dan feel-nya mirip banget sama The Flash, yang tentunya lo tau kalo baca review gue di postingan satunya: repetitif banget! Per episode penjahatnya selalu beda, and as you'd expect; the resolution is, eventually, Supergirl will save the day. Tapi kalo lo suka format ala series tokusatsu atau sentai gini sih harusnya nggak masalah ya. Sebenernya banyak aspek menarik yang bisa dieksekusi lebih baik sih, contohnya ya day job-nya si Supergirl atau personal struggle-nya entah dengan apa, cuma yang gue liat jatohnya jadi cheesy dan cepat selesai. Masih menyenangkan sih untuk ditonton, tapi gue sepertinya memilih untuk tidak melanjutkan. Nggak tau karena gue secara tidak sadar lebih suka series yang 'gelap gelap' atau emang eksekusi Supergirl dan The Flash aja yang kurang oke (hell, Gotham yang harusnya 'gelap' aja gue nggak suka karena emang jelek), tapi gue belom merasa klop sama series-series-nya DC. Maaf DC, film mungkin bisa didebatkan, tapi soal series, Marvel lebih juara.

There, I said it. Marvel lebih juara. Jadi pas Jessica Jones udah keluar semua episode-nya, langsung aja gue tonton seharian. Tadinya gue berniat buat cuma batesin diri satu episode per hari, tapi.. Jessica Jones terlalu hooking! Ceritanya emang banyak yang beda dari komiknya (Alias), tapi cukup solid, kok. Ada sih beberapa aspek yang cringeworthy kayak latar belakang Purple Man (yang pada series ini tidak dikenal dengan nama tersebut dan hanya dipanggil 'Kilgrave') ataupun final confrontation-nya yang tidak se-bombastis yang gue harapkan, but that's okay. Banyak aspek lain yang patut diacungi jempol, kayak anxiety (or PTSD?) issue-nya si Jessica, persahabatannya Jessica dan Trish, which is, harus gue akui sangat menarik dan dalam (maaf ya Foggy, tapi penghargaan Tokoh Sahabat Terbaik jatuh pada Trish. Hehehe). Gue nggak biasanya suka tokoh 'sahabat superhero' yang pada ujungnya jadi bumbu doang, tapi Trish cukup lovable and their friendship goes beyond that karena mereka ternyata tumbuh besar bersama dalam satu keluarga. Banyak karakter menarik disini, tapi jangan terlalu attached ya, karena siapa tau karakter itu tidak berumur panjang, hihihi. Dan ya, seperti Daredevil, series Jessica Jones ini juga berformat sama, dimana satu season dihabiskan untuk menyelesaikan satu masalah. Bahkan tema dan atmosfirnya mirip-mirip. Di postingan satunya gue bilang 'kan Daredevil tergolong noir? Naaaah, kalo dibandingin sama Jessica Jones sih, wah belom ada apa-apanya. Tema dewasanya lebih kuat, jadi jangan ditonton sama adik yah. Series-nya neo-noir banget, lebih banyak menitikberatkan di unsur psikologis dan detective play-nya. So yeah, expect a lot of investigating, stalking, disguising, and interrogating. Tenang, adegan aksi masih tetap banyak kok (ada Luke Cage juga!).Worth it banget lah seharian ngabisin 13 jam++ buat nonton satu season Jessica Jones. Easter eggs-nya juga lumayan banyak.

To people who thinks Jessica Jones is mediocre or overrated:

Merasa kosong setelah ngelarin Jessica Jones, gue mencoba satu series yang banyak diomongin dan direkomendasikan orang-orang di sosmed, yaitu Mr. Robot. Gue cek ratingnya; gila, 8.9/10 di IMDb dan 98% aja dong di rottentomato! Premisnya sih terdengar simpel ya, tentang sekumpulan hacker bernama fsociety yang berusaha nge-hack korporasi paling berkuasa di dunia, E Corp, yang diharapkan akan menghapuskan jejak hutang semua orang, menimbulkan economic meltdown, dan mengubah dunia. Small group, big agenda. Banyak istilah-istilah teknis dalam series ini, ceritanya yang berat dan cukup menggali sisi psikologis tokoh-tokohnya pun bikin yang nonton Mr. Robot harus mikir, jadi kalo berharap popcorn movie atau tontonan ringan, mending jangan nonton ini ya (apalagi kalo badan capek dan ngantuk abis ngelarin Jessica Jones, hahaha). Storyline dalam Mr. Robot ini terbagi jadi beberapa masalah, semuanya secara langsung atau tidak langsung terikat sama sang tokoh utama, Elliot, dan tujuan fsociety yang gue tulis di atas. Emang harus gue akui series ini berat, banyak monolog panjang yang terpaksa gue skip karena bosan, dan banyak sisi teknis yang nggak gue mengerti (kecuali anak IT mungkin), tapi gue cukup menikmati series ini kok. Penampilan aktor dan aktrisnya banyak yang keren, gue pribadi suka Tyrell Wellick dan istrinya Joanna. Banyak juga isu sosial politik yang disinggung disini. My final verdict is: Mr. Robot is recommended, meski bukan prioritas gue kayak Jessica Jones atau GoT, misalnya. Btw, ada plot twist di dua episode terakhir, jadi bersabar dan tonton sampai selesai yah!

Untuk menetralkan tontonan-tontonan berat di atas, gue juga nonton Community. Seperti Mr. Robot, Community ini banyak direkomendasiin orang-orang, bedanya Community ini series lama. Intinya sih, sitkom tentang orang-orang yang kuliah di Community College (semacam D3 atau Universitas Terbuka kali ya kalo disini). Dibilang lucu apa nggak sih lucu ya, namanya juga sitkom, bahkan humornya lebih banyak per episode daripada Parks and Rec. Jenis humornya juga macem-macem, dari yang segmented karena nyerempet pop culture sampe dry humor ataupun pun jokes. Tokohnya diverse, unik-unik, dan nggak ada yang overlap, bahkan ada yang kadang suka breaking the fourth wall. Community ini satu season-nya biasanya sih berkutat di satu masalah sebagai latar belakang, tapi per episode-nya jarang yang bener-bener nyambung kok. Yang gue suka, selain penokohannya yang bener-bener unik dan nggak overlap tadi, kadang ada episode spesial kayak Halloween yang tiap season ada, atau selipan Community versi kartun. Kadang episode-nya trippy banget malah, hahaha. Yang gue nggak suka dari Community palingan romance-nya yang agak.. Dipaksain? Banyak hint-hint yang ditampilin sih di antara dua karakter yang romantically potential, tapi tetep aja rasanya kurang nyambung (subjektif sih emang: Jeff dan Annie masih rada gue maklumi, but Troy and Britta? Reaaaally?). Mungkin emang sitkom harusnya seperti itu ya, gatau sih. Gue baru sampe season 4 karena nggak kayak Parks and Rec dimana gue bisa marathon terus-terusan, gue nggak segitunya bersemangat nonton Community, biasanya buat selingan aja kalo abis nonton yang berat-berat atau lagi nganggur dan butuh hiburan. Tonton aja sih, oke kok.

Oh ya hampir lupa, gue bilang kan di awal kalo ada anime juga? Nah, anime yang gue maksud sayangnya bukan One Punch Man atau Digimon Tri yang lagi hype, tapi.. FLCL alias Fooly Cooly alias Furi Kuri. Iye telat banget emang gue baru nonton FLCL setelah 15 tahun, tapi gue nggak nyesel, karena ternyata anime-nya bagus. Rasanya udah lama deh nggak nonton anime (bukan animated movie lho ya!) yang bagus. Awal penceritaannya mungkin bikin bingung dan rada nyeleneh, tapi makin ke belakang makin jelas kok, makin bikin kita gak peduli dan lebih nikmatin anime-nya malah. Oh ya, ceritanya gak jauh-jauh dari mecha (yang baru gue ketahui belakangan setelah menonton), sci-fi, action, drama, dan comedy. Kalo tau studio animasi yang ngeproduksi FLCL ini Gainax, pasti nggak heran sih, karena emang tone dan art style-nya cukup mengingatkan pada Gurren Lagann dan Neon Genesis Evangelion yang dibuat oleh studio yang sama. Selain penceritaannya yang kadang ngawur dan subtle, gue juga suka penokohannya (Mamimi best girl!), art style-nya, dan pastinya soundtrack-soundtrack alt-rock-nya. Gue pengen nge-review panjang tapi kapan-kapan aja deh, intinya coba nonton dulu aja FLCL, unik soalnya. Di satu sisi menghibur, tapi di satu sisi agak depressing. Kalo bukan penggemar mecha atau anime gapapa, gue juga bukan penggemar mecha dan udah males nonton anime tapi suka tuh sama anime ini. Toh cuma 6 episode dan masing-masing berdurasi 25 menitan hehehe.


Jadi? Tertarik untuk prokras nugas dan binge-watching salah satu series yang gue sebutkan di atas? :-P


Monday, October 19, 2015

Confession of a Girl Who Uses Path

Gosh, I really hate Path.

And here's the reason why:
1. I don't know if it's just me, but it's fucking laggy.
2. When actively used, it's the second most data-consuming app in my phone, with the first being Instagram (since it's full of pictures and videos).
3. Whenever you go, the social pressure to post something is too damn high. Hey, I just had lunch at this famous, newly-opened Japanese restaurant chain, and not at some cheap food stalls. Hey, I just feel like posting this song that I don't listen to at the moment but I'm gonna post it anyway 'cuz it describes how I'm feeling right now. Hey, I just met my old friends and thought you guys may want to know what they (and my #OOTD as a bonus) looked like. Well, the pressure's basically like "it's not actually that special, but I don't want people to assume that I have no life and they should know how mediocrely good my life is, so I have to post this". I hate to admit this but instead of enjoying the moment, wemyself includedwould often found ourselves and our friends fumbling with our phone, trying to get Wi-Fi, editing our freshly-taken picture so we could upload it right away. We won't get over until it is posted. May the most liked post wins!

So.. Just what purpose does Path serve? Is it purely for showing off? Or get in touch with your close friends, privately? Or as I said before, to caters to our increasing narcissistic needs of posting everything everywhere in this digital era?

"Well, yeah, Path allow you to get in touch with a selection of friends in a limited circle, so they'd know what I'm up to, and vice versa. All in a more private way."
Meh. I call BS on this. To let them know what you're up to, you could post on chat groups, LINE status, or even Facebook, since you can customize the privacy setting. It's all easier and quicker to do. Also, in a private way? LOL, don't get me started on this. I've seen many people abused the private function by linking their Path to their public Twitter accounts. I could concur if this was said back when Path limits the friend list to just 150 people, but now it expands to 500. Honestly, I don't think you have that many *close* friends and family. And just how many viral posts in the recent years were actually taken from someone's Path post? And we said Path is "private"? Also, if they intend to go viral, to spread a certain tale, they should consider Facebook or LINE public post which has direct 'like' button and comment (a two-way interaction!), so it could travel further to wider audience too. These viral Path posts eventually and ironically will end up in Facebook and Twitter anyway. No matter how careful you curate your friends on Path, the ones you'll be accepting won't be really the closest ones. What privacy do you seek from a "social media", anyway? You won't know if one of your few friends, who's actually a snitch, would screen-capture your post and post it somewhere else, will you? I don't think 'privacy matters' is what makes Path different and so widely used, unless you're a public figure.

"Ok, we can argue on that. But, but, how about giving people recommendations? You know, like, I had dinner in a place with really cool interior and really tasty food, and I want people to know how it went, or where it is. It's good for business and foodies, right?"
Recommendation seems like a legit reason, until you realize that we have Instagram, review apps, and blog for a reason. I mean, do you really meant to check in at that place because you had a great meal and great time there, or because you thought it'd look good on you? Because apparently, the said place is currently the most happening place among your friends? Well, I can't blame you. I, too, have posted movies I was watching on Path and sometimes with a quick review on them. Sometimes many friends love it (especially if it's a much hyped movie or only has been released for few days,), sometimes not really. Same goes for food. But I eat alone more often than eat out with friends or family. When I eat alone, I rarely post them on Path. Why? Consider this: you eat alone in an ordinary-looking restaurant that always been your favorite but never got a chance to say how awesome it was, and you eat with three friends in an upscale restaurant but with ordinary tasting food, which one do you more likely to post? I think it's the latter. If I really love that restaurant and its food, I'd prefer using Zomato, OpenRice, or my personal blog. Just admit it, our inner pretentious self plays a big role in this whole posting matters, so using Path to recommend things isn't really effective. It will only reach a small portion of people and you can't do a full-blown review which makes your post really long, since Path users seem to have short attention span. But of course, this could go differently for every people. Some people are influential enough that they could just boost a certain product or place's sale and fame just by posting it on their social media. But then again, not everyone are social media celebrity or giving useful reviews, and as the audience, we could get tired seeing the same place or song getting posted over and over again by different friends on our Path feed.

"Ugh, alright, whatever. Just don't go generalize people. But you know what? Seeing your counter-arguments, I realized something; Path gives you all the needs from various social media, all in one app. Instagram's picture and video posting, more elaborate version of Facebook's "what are you doing?" and its privacy setting, longer version of Twitter's jokes and rants (and #nowplaying, if anyone ever remembers), 4square's check-ins; everything's included in Path!"
..Now that's a good point. A valid point, at that. This is actually what makes Path so adored: it sums up other social media functions in one app. It's versatile. Better yet: it boost our ego. The said functions are basically to expose your life into one social media, and I call it total BS if someone said they never get pleased by the amount of likes on their post or at least get a little jumpy every time you a Path notification popped up. It's like seeing many people approved or appreciate your life, and vice versa. I know that the number of likes (or frown or laugh or wink, in this case) can't define your post's quality, but it does define other things: how social you are and how many actual friends you have in real life. Just sit and compare how certain people who posted about watching movie and checked in at a cinema with no captions, just tags, managed to snag many likes, while other people, who is less popular in real life, got smaller amount of likes even though they carefully wrote a compelling comment about the same movie.
Interesting, right? Seeing how much a mere social media involved with our perception and way of life. Path is meticulously designed, despite all its flaws.

It still hasn't solve the biggest mystery, though: why is Path really selling out here in Indonesia, but not in other countries, or even in its founder's country, USA? Is the Indonesian demographic just love to show off and more inclined to pretentiousness? The answer is in this DailySocial article. Perfectly explained in the following paragraphs, quoted directly from the aforementioned article:

"It seems that the key to Path’s wide adoption in Indonesia is how roughly abused Facebook has become. For a lot of people in the United States, Facebook is that persistent connection people have with their friends and relatives. They leave messages there, post their thoughts and discoveries, share news and photos, play games together, communicate, and generally keep in touch with their closest friends and relatives through the network.

In Indonesia Facebook is a marketplace. Yes it’s a social network but it’s a highly abused social network in which people take advantage of their connectedness and use their personal pages to promote and sell products and services. Large numbers of Indonesians use their Facebook pages to upload photos of the things they sell and tag everyone and their dog to announce that they have a new item available for sale. On top of that, there’s the game invitations. Oh the horror when these wretched things come around."  
—Aulia Masna, from DailySocial 32 months ago.

Or to make it short: it's all thanks to the changing nature of Facebook.
The people in USA is consistent with their Facebook usage, to connect with people, so they stick to it and Facebook is still the most popular social media there. Indonesians on the other hand, utilize Facebook for other means such as selling and advertise things. As Facebook became less and less personal, Indonesians found their new comfort at the hand of Path, where they can personally connect to their selection of friends and family while still retain their old habits to post anything anywhere. So convenience.

Now that we know the purpose of Path, what's the point of this post?

Well, I just want to rant how much I actually hate Path while still using them and amused by its dynamics. It's not a love-hate relationship, since I've never loved it in the first place (I still prefer Twitter). It's just funny, how we're really fixated on one imperfect social media app for the sake of 'getting updated' and 'connect with friends and family'. That's all. I hope you don't take this as me badmouthing Path or me getting butthurted for some reasons. But to be honest I do wish a little that Path would somehow lose most of its users so we can move to a better, less pretentious app or even go back to Twitter. As for Twitter, I miss how each people is unique, posting different types of postA is a sappy, hopeless romantic gal who posts love quotes and subtweets her crush 24/7, B is a very funny and punny guy in real life who eventually finds his way to Twitter fame through his original and creative tweets, C is keen to share his thoughts about certain political issues in a series of tweets and open discussions, while D is a loner whose only solace is to rant on Twitter and doesn't care if people read his tweets or not. Meanwhile in Path, all you got is pretty much the same: check-ins, picture of your friends with their friends, funny picturesthat I thought for once was the most redeeming aspect of Path before I realized that they were taken from other social media platformsand small majority of movies, tv shows, songs, or books being consumed and reviewed.

I'm still torn between deactivating my Path so I could free up some spaces in my phone and free from the inevitable social pressure, since most of my real life friends use it and I feel like I will miss out a lot of things if I don't. Anyway, it's up to each person to have preference of which social media platform they like best and use the most, but remember this:

If I ever linked a Path post to Twitter, or even worseturn my Twitter account into a big dumpster full of Path links like most people nowadays, you're obliged to unfollow me and slap me in the face. But if I ask you how your day was and you, who happened to be a friend of mine, respond with something like "Didn't you check my Path this morning?? I was going to" I AM the one who will slap you in the face. Thank you.

Saturday, September 12, 2015

Semester 8 yang Hampir Terlupakan

Hampir aja lupa nge-review semester 8 karena.. Emang rada gabut.

Loh kok gabut kak??? Kan taun keempat kak??? Emang nggak TA kak????????/?/?

Semester 8 gue ngambil TA kok, nama matkulnya Tugas Akhir Seni Rupa, 6 sks bobotnya. Tapi selain TA, gue cuma ngambil Penulisan Proyek Akhir, Semiotika I, dan Seni, Desain, dan Lingkungan. Kalo dijumlahin totalnya jadi 13 SKS. Oh, kesibukannya paling ditambah ngasdos Gamtuk juga ke TPB 2014. Cuma ya itu, semester 8 gue cukup nyantai dibanding jurusan dan fakultas lain karena TA dikerjain 2 semester (semester ini gue ngambil lagi dan ngelanjutin, jadi status nilai TA-nya masih T), yang agak hectic justru ngerjain tugas Seni, Desain, dan Lingkungan dan Penulisan Proyek Akhir. Untuk lebih detilnya dibahas per matkul aja yaa.


Tugas Akhir Seni Rupa
Sering banget gue ditanya, terutama dari temen yang bukan anak FSRD atau Seni Rupa; anak SR TA-nya ngapain sih?? Skripsi?? Bikin apa??
Karena belom gue jelasin di bagian Pra TA semester lalu, jadi gue jelasin dikit ya. Simpelnya sih, TA anak SR ini bikin karya; karyanya kayak apa, tergantung studio yang bersangkutan. Gue misalnya, karena gue Studio Drawing, jadi buat TA gue bikin beberapa buah gambar berukuran gede dengan satu tema yang sama, medianya kertas dan drawing pen (tergantung pilihan). Nanti dipamerin pas sidang. Jadi mini pameran juga sih, jatohnya. Contoh lagi dari studio lain, Studio Intermedia deh ya, ada yang bikin seni instalasi pake sensor, jadi interaktif gitu. Kalo lo bingung sih, basically TA ini kayak tugas studio tapi dengan skala yang lebih gede, resource yang lebih memadai, konsep yang lebih matang, dan niat yang lebih kuat (iyalah buat lulus, wkwk). Minimal kayak entry buat pameran deh. Tapi selain bikin karya, ada juga anak SR yang bikin skripsi buat TA, mereka disebut anak Kajian. Seperti yang sebelomnya pernah gue jelaskan, Kajian ini salah satu sub-prodi-nya SR, but instead of bikin karya seni, mereka membedah seni (azek).
Berhubung tema dan visualisasi gue bener-bener tinggal ngelanjutin dari Pra TA, jadi bisa dibilang gue cukup nyantai pas TA. Dosbing gue pun untungnya dosen yang sama kayak dosen Pra TA, jadi doi udah ngerti lah gue mau bikin apa. Oh ya, untuk pemilihan dosbing alias dosen pembimbing, kalo di SR nanti kita dikasih form buat ngisi data seputar karya TA yang mau dibuat (kalo belom fix gapapa, yang kepikiran dulu aja), dari mulai judul, konsep visual, metode pengumpulan data, dan lain-lain, plus nama dosen yang kita pengenin buat jadi dosbing. Nah, dari situ nanti diliat kecenderungan karya kita cocoknya ke dosen mana, soalnya ada dosen yang jagonya di aspek tertentu, kayak jago di karya digital atau karya yang semiotik banget, misalnya. Tapi seringnya sih kita dapet dosbing yang kita mau kok. Dan hati-hati karena ada beberapa dosen yang suka sibuk, jadi jarang ketemu buat bimbingan dan lulus pun jadi tertunda apalagi kalo kitanya males juga, hahaha.
Buat yang karyanya mau beda dari Pra TA alias mulai dari 0 sih jelas kudu sering asistensi ya. Temen-temen gue di tahap ini sih biasanya baru asistensi konsep, basic banget lah, belom sampe sketsa malah (ada sih beberapa yang rajin) karena konsep belom fix. Tapi buat yang mau lulus Oktober sih disarankan pas semester pertama ngambil TA dimaksimalin aja, karena semester kedua jatohnya bentar sampe waktunya sidang September. Untungnya gue rencana lulus Maret taun depan (doain lancar ya!), jadi baru mulai bener-bener corat-coret ya semester ini. Tapi jangan diikutin ya, soalnya mulai lebih cepet lebih baik hahaha.

Penulisan Proyek Akhir
Loh? Jadi lo gambar doang ces TA-nya? Enak banget!
Kalo kalian sempet berpikir demikian, sepertinya kita harus mempertimbangkan ulang hubungan pertemanan kita :( (lah emang siapa yang temenan)
Anak SR non Kajian emang TA-nya bikin karya (nggak harus gambar, btw), tapi kita tetep harus bikin yang namanya Penulisan TA. Penulisan TA ini bisa dibilang semacam jurnal, semacam dokumentasi, semacam penjabaran detail, semacam pertanggungjawaban tertulis buat TA karya. Bentuknya kayak skripsi, ada Pendahuluan, Kajian Teori, Eksekusi, dan lain-lain. Intinya sih isinya step by step pembuatan karya TA plus teori-teori pendukungnya (iya, TA SR nggak bisa asal bikin, tetep harus ilmiah pake teori pendukung). Tugasnya cuma satu ini tapi bikinnya cukup hectic sih karena bisa dibilang ini draft buat TA lo, jadi harus dipikirin baik-baik ngisinya. Gue ngebut bikinnya, trus belakangan gue baru tau kalo Penulisan TA ini bisa dikumpulin sampe semester 9 ini, mungkin karena banyak yang masih bingung dan belom fix kali ya TA-nya. HUFT. Padahal gue udah bela-belain ngejar tepat waktu. Mending jangan buru-buru biar hasilnya maksimal, tapi kalo ngumpulin tepat waktu juga gapapa sih, biar berkurang satu bebannya jadi semester depan bisa fokus TA.

Semiotika I
Kuliahnya belajar tentang.. Semiotik. Membaca tanda dan simbol deh intinya. Keliatan asik, tapi ternyata teorinya bikin pusing juga. Cukup berguna sih buat yang kuliah DKV, minat desain grafis atau advertising, ataupun pengen bikin TA yang berunsur simbolik banget. At least teorinya bisa lo masukin ke tugas lo atau penulisan TA lo lah. Dosennya juga baik kok. Dan lucunya banyak anak fakultas lain yang ikut kuliah ini padahal bidangnya jauh, entah emang tertarik, ngarep nilai A (tetot, ini bukan matkul paket A, gue aja dapet B), atau iseng buat ngabisin SKS. Padahal kuliahnya pagi, gue sih rada males tingkat akhir kuliah pagi (((lah itu mah lo aja kali)))

Seni, Desain, dan Lingkungan
Matkul yang disingkat Sendal ini adalah satu-satunya matkul wajib buat SEMUA prodi di FSRD. Jadi bisa dibayangin, 5 prodi kuliah sekaligus, rame banget! Makanya kuliahnya di ruang 9009 alias ruang LFM yang luas banget. Yang dipelajarin macem-macem, karena tiap minggu dosen yang ngajar dari prodi FSRD yang berbeda. Minggu ini mungkin dosen Desain Produk, minggu depan mungkin dosen DKV. Gue bingung jelasinnya karena jujur aja nggak terlalu sering masuk (maaf anaknya males banget), tapi intinya sih menjelaskan hubungan antara lima disiplin ilmu di FSRD dengan lingkungan (as in environtment). Menjelang akhir perkuliahan ada tugas besar dan perkelompok, anggota kelompoknya bebas dari prodi mana aja, tapi saran gue sih nempel aja sama anak Desain Produk yang udah jago beginian (ups!). Tiap tahun tema tugasnya pun beda; pas gue kebetulan temanya Bandung Smart City, Bandung Technopolis (#nuhunkangEmil, lol) yang detailnya bisa digugel saja ya hahaha. Intinya sih disuruh bikin sesuatu yang mendukung konsep Bandung Technopolis tadi. Boleh berupa produk, campaign, sistem, apapun. Kelompok gue, yang terdiri dari 3 anak Desain Produk dan 1 anak Desain Interior, bikin semacam sistem transit buat wisatawan yang ke Bandung biar nggak macet. Nanti setelah perkuliahan berakhir, diadain pameran (biasanya kalo nggak di Gedung SR ya di CC Timur, masih di dalem kampus pokoknya) buat mamerin tugas ini dari semua kelompok, sekalian jadi penilaian akhir. Kelompok gue misalnya, majang maket tempat transit tadi, sama poster-poster yang isinya kurang lebih latar belakang, rancangan visual tempat transit kendaraannya, alur kerjanya, fungsinya, dan lain-lain (kayaknya gue paling out of place ya karena anak Seni sendiri sedangkan ini banyaknya kerjaan anak DP dan DI.....). Oh ya, selama perkuliahan, inti tugasnya cuma satu ini kok, tapi bakal disuruh bikin proposal dan asistensi bertahap. Jadi siap-siap aja hectic ngatur jadwal buat kerja bareng temen sekelompok yang beda prodi dan beda kesibukan ya. :-P

Tambahan:
Jadi asdos Gambar II (Gamtuk)
Galau pengen ngasdos apa nggak pas tingkat 4? Saran gue: NGASDOS AJA. It won't do any harm kok, menurut gue nggak segitu menyibukkan sampe lo nggak bisa konsentrasi TA. Manfaatnya lebih banyak, bisa buat bagusin CV, nambah pengalaman ngajar, kenal anak-anak baru, belajar pelajaran TPB lagi yang mungkin malah bikin semangat TA, dan dapet bahan gosip atau bahan lawakan karena gambar dan kelakuan TPB yang suka ajaib (maafkan aku dik). Pokoknya pas peralihan tahun ketiga ke tahun keempat, lo tinggal perlu nyiapin pas photo, transkrip, CV sederhana, sama ngisi form pendaftaran asdos dari TU. Kumpulin deh ke TU. Gue nggak tau sekarang dan matkul lain sistemnya gimana, tapi kalo pas gue daftar ngasdos Gamtuk sih setelah ngasih kelengkapan tinggal dateng pagi-pagi ke gedung TPB pas hari pertama Gamtuk sebelum kuliah dimulai, ketemu sama dosennya, nanti dipilih deh. Kemungkinan kalo lo dateng pagi dan kuota masih ada sih bakal kepilih ya, terlepas dari bagus nggaknya nilai di transkrip lo atau gambar lo. Bahkan temen gue ada yang dateng langsung dan diterima padahal belom ngasih kelengkapan (ngasihnya belakangan), jadi siapa cepat dia dapat gitu lah. Nah gue sebenernya udah daftar dari dulu, tapi telat tau sistem ini jadi telat juga dateng pas Gamtuk I semester 7 dan nggak kebagian slot, huhu. Tapi terakhir gue cek ke anak 2012, Gamtuk sekarang nggak pake sistem first come first serve lagi tapi milih berdasarkan prodi, jadi kalo biasanya yang ngasdos Gamtuk itu dari SR atau DKV, nah mulai semester ini dosennya kayak milih-milih dari semua prodi gitu biar nggak berat sebelah, jadi nggak cuma DKV dan SR tapi bahkan sampe ada anak DI juga ada yang IMHO disiplin ilmunya rada jauh. Begitulah. Oh ya, untuk dibayar nggaknya, jangan terlalu berharap ya hahaha. Yang jelas kita selalu dikasih makan siang kok. Disini pun lo nggak full ngajar sebenernya, yang ngasih materi dan nilai tetep dosen, asdossesuai namacuma ngasistensiin gambar anak-anak yang dibuat, udah bener apa belom, mana yang perlu diperbaiki, kalo ada yang minta diajarin ya ajarin, kalo ada perkataan dosen yang kurang jelas ya jelasin, kalo ada yang nanya ya jawabin, gitu-gitu. Kita ngasistensiinnya juga one on one, entah anaknya yang maju sendiri ke meja asdos atau kita yang berbaik hati keliling dan liatin satu-satu gambar anak-anak. Nih perasaan gue abis ngasdos semester lalu (cie).

Yak, itulah semester 8 gue. Jangan takut sama tingkat empat, karena kalo lo udah melewati tingkat 3 yang bagai neraka itu, dijamin kesibukan akademis selanjutnya nggak bakal terlalu terasa menyiksa hahaha. Hopefully kita bisa ketemu lagi di postingan review selanjutnya dimana gue (mudah-mudahan) sudah sidang atau bahkan sudah lulus dan cuma membahas TA. Amin.

Adios!

Thursday, September 3, 2015

Ulasan Cepat Shonen Fight #1

Belakangan ini ada majalah komik yang lagi hype di kalangan otaku dan penggiat industri kreatif, yaitu Shonen Fight. Shonen Fight ini mengadaptasi banget format majalah komik dari Jepang, dari mulai tema, konten, sampe layout-nya. Kalo nggak salah sih emang petinggi dan tim editorialnya orang Jepang. Bedanya sama majalah komik sejenis seperti Shonen Magz dan Shonen Star, Shonen Fight ini isinya 100% karya komikus lokal. Komik-komiknya pun nggak semuanya Jepang banget kok, rata-rata malah ngambil setting di Indonesia.

Dan melihat hype-nya, ditambah komikus favorit gue ikutan di majalah komik ini, maka gue pun memutuskan untuk beli dan bikin ulasan alias review juga. Btw, buat yang mau beli, Shonen Fight ini agak susah didapet di Gramedia, kayaknya stoknya terbatas banget deh, jadi kalo ke Gramedia dan nggak nemu di rak jangan segan buat ngecek di komputernya ya, kalo tulisannya ada konfirmasi aja ke masnya, minta cariin gitu. Waktu gue beli gitu, dan masnya lama nyarinya, entah deh disimpen/disembunyiin dimana. Sejauh ini, yang gue tau pernah dilaporkan masih ada Shonen Fight itu di Gramedia Merdeka Bandung sama Gramedia Mall Citra Gran Cibubur (tempat gue beli).

Tambahan: Sebenernya sekarang gue udah beli dan baca sampe jilid dua, tapi berhubung tulisan ini dibuat saat dulu gue baru baca yang pertama, maka kali ini gue ulas Shonen Fight #1 dulu ya, hehe.

Ghost Loan
Kesan pertama baca komik ini: generik Jepang banget, dari mulai judul sampe ceritanya. Ghost Loan, seperti mayoritas komik di Shonen Fight, punya penyakit yang sama: mengambil setting di Indonesia (lengkap pake nama yang Indonesia banget!), tapi desain karakter dan background-nya masih kerasa sangat Jepang. Tapi gue pribadi suka Ghost Loan, karena Ghost Loan adalah salah satu komik yang kualitasnya bagus dan stabil, terutama dari segi art-nya.. Meski tokoh Reza yang di cover dan yang di isi komiknya rada beda; yang di cover mirip cewek, haha. Penyuka komik Jepang mungkin bakal suka Ghost Loan juga. Ceritanya sendiri lumayan hooking, meski ya itu tadi, generik. Dan ada bagian yang terasa dipercepat.

Jakanova
Kesan pertama baca komik ini: jadi keinget—tanpa bermaksud membandingkan—komik 5 Menit Sebelum Tayang (style-nya, tema broadcasting-nya) dengan cerita ala Phoenix Wright. Bisa dibilang cerita dan style Jakanova cukup menyegarkan di tengah komik-komik SF lain yang mayoritas temanya supranatural dan kental influens Jepang-nya dalam segi artwork. Premisnya orisinil dan menjanjikan, walau masih belom jelas bakal kayak apa. Agak bingung juga karena sekilas plotnya kayak serius, tapi pilot chapter-nya banyak unsur ngelawak. Kita liat saja ya, gue sih menantikan banget ini.

Jeenie
Ya, kayaknya semua orang yang nulis review SF sepakat kalo Jeenie ini yang kualitasnya paling lemah. Gue pun setuju. Cerita dan tema biasa, art-nya suka nggak konsisten, background minimalis, transisi antar panel suka terlalu cepet atau kurang pas, dan (ini gatau salah editing-nya apa gimana) banyak error buat tanda baca dialog-nya. Dibanding pilot chapter, chapter ini lebih cocok jadi filler. Jeenie sebagai karakter utama yang harusnya jadi daya tarik pun ya akhirnya gitu aja karena kemunculannya tidak digambarkan dengan baik dan karakternya kurang menonjol, kurang bisa memikat pembaca, IMHO. Mungkin niatnya mau jadi romcom kali ya, tapi sekilas gaya penceritaan Jeenie malah mirip komik anak-anak. Overall Jeenie masih banyak banget PR-nya, dari mulai penceritaan, skrip ceritanya sendiri, penokohan, sampe konsistensi gambar.

INheritage: Incarnation of Chaos
Sebagai pembaca yang gatau apa-apa soal game INheritage yang menjadi dasar dari komik prekuel ini, gue merasa awal dari chapter komik ini perlu ditambah lagi. Teknis sih rapi ya, dan nilai plus karena nggak males bikin background, walau kerasa computerized banget (bisa diliat dari adanya dua panel yang sama persis). Belom bisa komen soal ceritanya karena ceritanya pun belom terlalu jelas mau ngarah kemana. Sebenernya review INheritage susah untuk nggak bias sih, karena style art-nya gue nggak suka banget, haha. Tapi gue suka kok sama adegan penutup pilot chapter-nya.

Lost in Halmahera
Wah cukup mengejutkan juga ada komik 4 panel buat pengisi SF, apalagi tema dan gambarnya Indonesia banget. Tapi sesuai namanya, gue berharap komik ini lebih mengangkat lagi sisi Halmahera-nya. Contohnya udah cukup bagus di bagian angkot full speaker, tapi kemudian komik ini jadi menceritakan hal yang bisa terjadi di pulau-pulau (bahkan tempat) lain. Mungkin bisa ditingkatkan dengan menyisipkan kesulitan saat traveling, kearifan lokal yang lucu, dan lain-lain.

Perennium
Untuk ukuran pilot chapter, Perennium ini juga masih ngawang banget. Belom jelas arahnya kemana. Tapi gue suka konsepnya dimana peran Belanda disini digantikan sama alien. Setting-nya pun menarik dan unik, yakni di alternate history Indonesia. Seperti biasa, K. Jati nggak bisa kalo nggak nyisipin teori-teori eksistensial beratnya di komik yang dia buat, apapun genrenya, haha.

Oh Blood!
Kayaknya majalah komik shonen nggak lengkap tanpa fanservice, dan Oh Blood! ada untuk itu. Oh Blood! ini yang bagus adalah transisi panelnya, alus banget. Pose-pose karakternya pun oke, kayaknya banyak referensi komik Jepang ya. Secara teknis termasuk yang bagus lah pokoknya. Tapi, lagi-lagi bias nih, gue justru sangat nggak suka sama desain karakternya terutama rambutnya. Maaf banget. Dan gue suka merasa kombinasi style Jepang dan setting Indonesia disini agak off, apalagi dengan adanya sisipan dialog atau becandaan khas Indonesia yang sebenernya lucu dan nilai plus disini, sayang aja gitu. Tapi kalo style emang udah dari sananya sih ya.

Winternesia
Dengan tema seunik ini, tolong garisbawahi, buanyaaaak banget, yang bisa dieksplor dan diulik. Tapi, tolong garisbawahi lagi, sayaaaang banget Winternesia dieksekusi dengan lemah, bisa dibilang komik terlemah no. 2 setelah Jeenie. Poin utamanya adalah di style gambarnya yang berantakan, dan ketiadaan atau minimalisnya background setelah dua halaman pertama (perhatiin deh). Padahal Winternesia harusnya kuat di setting, karena siapa sih yang nggak mau liat kayak apa Jakarta post-apocalypse yang tertutup salju? Selain itu tone komik ini belom jelas mau lucu atau serius, konfliknya pun terasa agak dipaksakan. Karakter utamanya juga biasa aja, belom bisa menarik hati atau simpati pembaca.

Rabbit Vault
Menurut gue, dari segi art, komik ini paling eye candy, tapi juga salah satu yang paling nggak shonen (setelah Kalasandhi). Tipe art yang bagus kalo dijadiin ilustrasi deh pokoknya. Dari cerita sih masih kurang hooking, meski tema dan setting-nya paling beda sendiri (satu-satunya komik yang nggak berlatar di Indonesia). Kayaknya sih daya tarik Rabbit Vault ini ada di karakter utamanya, potensial banget, apalagi kalo pengembangan karakter dan hubungannya dengan karakter lain diperdalam.

Kalasandhi
Gue nggak yakin komik ini masuk golongan shonen, danberapa banyak sih SF butuh tema supranatural? Untungnya Kalasandhi berhasil stand out, karena komiknya memiliki unsur cerita vampir, cerita sejarah, dan pelajaran medisyang notabene kombinasi unik dan nggak banyak diangkat. Seperti Perennium, bisa dibilang setting Kalasandhi ini adalah alternate history Indonesia. Pilot chapter-nya cukup hooking dan bikin penasaran. Pengenalan tokohnya pun cukup dan karakterisasinya sendiri kuat. Dari segi desain karakter di antara komik-komik SF, Kalasandhi yang paling pas sama setting-nya. Kalasandhi juga menyisipkan trivia soal sejarah dan dunia medis, kudos buat risetnya.

Yak, begitulah. Sebenernya gue nggak mau bawa-bawa persoalan style Indonesia style Jepang, karena sah-sah aja sih bikin komik lokal yang style-nya heavily influenced oleh komik Jepang, apalagi emang SF ini berformat majalah komik Jepang dan digawangi oleh orang Jepang. Yang perlu diperhatikan adalah desain karakter dan penggambaran background untuk komik-komik yang 'berani' mengangkat setting di Indonesia. Sekali lagi gue tekankan, seperti yang gue bilang di awal, mayoritas komik di Shonen Fight punya penyakit yang sama: mengambil setting di Indonesia tapi desain karakter (terutama rambut dan gaya berpakaian) dan background-nya masih kerasa sangat Jepang. Eh background nggak terlalu sih, toh rata-rata background komik di SF #1 masih belom terlalu keliatan dan maksimal, palingan desain karakter yang keliatan banget.

Contoh bagusnya mungkin K. Jati, sebenernya style dia masih kerasa banget pengaruh Jepang-nya (bisa diliat dari muka, sebagian gaya rambut, dan figur tokoh-tokohnya), tapi dia bisa menggambarkan background dan atribut yang khas Indonesia (apalagi kalo liat komiknya yang 17+ atau Anak Kos Dodol) sehingga unsur Jejepangan tadi bisa diimbangi. Jakanova juga kayak gitu. Kalo contoh antitesis-nya sih jelas Kalasandhi ya, meski jatohnya jadi nggak shonen. Gue nggak bilang komik-komik di SF harus kayak contoh-contoh komik tadi, cuma saran gue: desain karakter yang sesuai. Dan jangan males ngeriset background. Hahaha.

Overall, SF #1 memuaskan kok. Diliat dari kualitas dan variasi komik yang ada (serta potensi komik-komik baru yang akan ada), bisa dibilang ini majalah komik lokal yang paling gue tunggu dan akan terus gue beli meski harganya paling mahal, hehehe. Akhir kata maafkan quick review gue yang bias atau tidak membantu. Semoga ke depannya makin baik ya, Shonen Fight!

Sunday, June 14, 2015

Series

Sedikit catatan:

Maaf ya makin lama makin jarang nge-post. Tapi gue akan selalu menyempatkan diri buat nulis disini (entah ada yang baca atau nggak), karena sayang banget kalo blog yang gue asuh dari jaman jahiliyah ini dianggurin gitu aja. Masalahnya, gue sudah tidak senyaman dulu dalam menulis hal-hal pribadi atau yang berhubungan dengan keseharian gue seperti saat SMP dan SMA dulu, jadi ya, sekarang apa yang mau gue tulis disini, biasanya hal-hal yang sifatnya lebih umum atau yang udah lama nyangkut di pemikiran. Dan nggak setiap hari gue menemui hal-hal umum atau mendapat pemikiran yang cukup menarik atau menggelitik untuk dituliskan disini. Tapi buat yang bertanya-tanya apakah alasan gue akhir-akhir ini jarang nulis di blog atau tidak seaktif dulu di media sosial salah satunya karena sedang mengerjakan TA, jawabannya adalah: TIDAK. HAHAHAHA.

.........Oke. Lanjut.

Jadi semester ini (atau setaun belakangan ini lebih tepatnya) lebih banyak gue habiskan untuk menonton bermacam seri. Yup, seri, series, series as in TV series. Bukan anime lho tapi. Ya, siapa tau liburan ini lo bingung mau ngapain dan tulisan gue bisa berguna buat acuan kalo mau ngisi liburan dengan marathon serial TV. Kegemaran ini dimulai saat gue lagi suntuk banget, dan memutuskan untuk coba nonton satu episode Parks and Recreation yang kata orang bagus dan gambarnya bertebaran dimana-mana terutama di Tumblr. And it indeed lived up to the hype; meski gue salah karena mencoba nonton dari episode 1 season 7 (yang ternyata season finale, nyet. Bego nggak sih), tapi gue langsung terpikat. Meski temanya bukan tipe tema yang gue pikir menarik (people in the office and their governmental/bureaucracy works, anyone?), tapi toh jatohnya nggak berat dan menarik karena dikemas dalam balutan komedi yang cerdas (dan sedikit drama). Memang tetep ada political undertone dan American references yang penonton awam belom tentu ngerti, tapi nggak sampe mengganggu, kok. Toh serinya juga nggak berat sebenernya, bukan yang tiap episode terus menerus ngomongin politik dan isu-isu berat. Bahkan banyak dialognya yang relevan sama kehidupan sehari-hari kita, malah.


Yang paling gue suka dari Parks and Rec adalah tokoh-tokohnya yang punya karakter-karakter menarik dan terasa nggak one-dimensional. Yang bikin lebih gue suka lagi, interaksi antar tokohnya dieksplor banget, dengan kombinasi yang berbeda-beda juga. Misalnya nih, di Parks and Rec ada 10 tokoh inti: A, B, C, sampe J. Dalam 7 season, ada episode dimana tokoh A dihadapkan dengan tokoh C, D dengan B, B dengan E, J dengan A, dan begitu seterusnya. Jadi kita tau gimana karakter A yang bubbly kalo lagi kerja bareng sama si B yang kaku dan serius. Atau si misanthrope C kalo diharuskan berinteraksi sama D yang orangnya banyak gaya banget. Begitulah. Intinya, perkembangan karakternya bagus dan penokohannya pun well-thought. Nggak ada yang overlap atau jatuhnya jadi nggak penting, apalagi kalo namanya ada di opening credits alias jadi tokoh inti. Kapan-kapan mungkin akan gue bahas lebih lanjut. Yang jelas gue tidak menyesal menghabiskan bandwidth dan waktu buat 7 season Parks and Rec yang per season-nya berisi belasan hingga 20an episode. :-P

Selain Parks and Rec, dan mumpung lagi sering download di ez.tv, gue juga mencoba seri-seri superhero yang beberapa bulan lalu lagi hype: Gotham, The Flash, dan Daredevil. Ketiga seri ini menarik di pilot episode-nya, tapi cuma Daredevil yang bikin gue betah ngikutin sampe akhir.

Gotham gue drop karena ceritanya kurang bagus, kadang bertele-tele, dan kebanyakan gimmick. Buat yang biasa baca komik, mungkin nggak ada masalah ya sama gimmick-nya. Cuma gue nggak suka aja, Gotham ini kesannya nampilin tokoh tertentu cuma buat "EH DIA NANTI JADI RIDDLE LOH MUSUHNYA BATMAN!! TUH KAN LIAT DIA DI-BULLY DI TEMPAT KERJANYA, DIA LAMA-LAMA JAHAT LOH!!!!" atau "Eh liat nggak gadis kecil yang tadi??? Itu Poison Ivy loh sebenernya. Gue juga nggak tau sih apa kontribusi dia buat plot utama, tapi yaa biar fans seneng aja.". Ngerti, 'kan? Gue nggak tau Gotham ini ditargetin jadi beberapa season, tapi diliat dari progress ceritanya sih, bisa aja sampe belasan season. Nah, entah karena gue bukan penggemar berat Gotham-verse apa gimana, gue jadi kurang merasa terikat sama seri ini. Tokoh-tokohnya pun nggak segitunya menarik, bahkan Comissioner Gordon yang notabene tokoh utama dan tipenya menjanjikan (satu-satunya orang 'lurus' di lingkungan yang korup), jadi begitu aja karena elemen cerita yang lemah. Tapi gue belom selesai season 1 loh, jadi bisa aja selanjutnya baru mulai serunya. Cuma sayangnya gue orangnya cepet bosen sama serial yang panjang (Parks and Rec yang nggak ngebosenin pun gue tetep butuh jeda buat nontonnya), dan kalo di season 1 udah lemah, kemungkinan gue nggak bakal ngikutin lagi.

The Flash pun gue drop. Tapi gue masih lebih suka Flash daripada Gotham, padahal gue lebih familiar sama Gotham-verse. Kenapa? Soalnya, sejauh yang gue ikuti, Flash ini repetitif banget. Tiap episode ada aja penjahat komikal yang muncul. Muncul, dihajar sama Barry dkk, akhirnya kalah atau mati. Episode berikutnya lanjut gitu lagi. Mirip serial tokusatsu jadinya, dan kebetulan gue bukan penggemar serial semacam tokusatsu, hehe. Tapi ya, meski penjahat yang muncul lebih komikal dari Gotham (well duh, it's from a comic and the story basically told us that everyone who was exposed to the radiation from S.T.A.R Labs explosion will suddenly harness a super power, mostly elemental), tapi Flash ini less gimmick-y, bukan yang tiap episodenya nyuguhin easter eggs yang dipaksain. It was fun alright, but I got bored eventually. Subjektif memang. Liat dari tone serialnya sih Supergirl yang nanti bakal tayang ini mirip-mirip sama Flash: intinya gimana seorang anak muda memberantas kejahatan di kotanya sambil tetap menjalani kehidupan sehari-hari dan menutupi identitasnya sebagai superhero, terutama dari orang-orang terdekat. Simpel. Tapi mudah-mudahan Supergirl jadinya nggak terlalu klise ya.

Nah, kalo Daredevil ini punya kualitas yang nggak dipunyai dua serial superhero yang gue sebutkan sebelumnya. Daredevil nggak repetitif, ceritanya bener-bener nyambung dari episode ke episode. Dari awal sampe akhir ya musuhnya dia-dia aja. Padahal premisnya mirip kayak gabungan dari Gotham dan Flash; di mana Matt Murdock merupakan satu dari segelintir kecil orang yang 'lurus' di Hell's Kitchen yang korup dan dikuasai mafia, berusaha memerangi kekorupan yang ada dengan pekerjaannya sebagai pengacara, namun di saat yang sama juga menyembunyikan identitasnya sebagai Daredevil yang memberantas kejahatan para mafia tadi.. secara fisik. Dua unsur inilah yang menarik buat diikutin, karena baik Matt Murdock sebagai pengacara maupun alter ego-nya yaitu Daredevil bisa sama-sama berkontribusi menyelesaikan kasus yang sama. Konflik antar tokohnya pun ada dan nggak klise. Tokoh Foggy bukan jadi sekedar trope "funny fat guy sidekick" aja, tapi juga ngaruh langsung ke plot. Tadinya pun gue cemas Daredevil ini bakal cuma jadi sekedar set-up atau penghubung buat film-film MCU berikutnya *uhuk Agents of S.H.I.E.L.D uhuk* tapi ternyata nggak. Ada sih easter egg yang mengacu ke kejadian di film Avengers pertama, tapi ya cuma disebut sekali doang, itupun nggak blak-blakan disebutinnya. Selain itu, gue suka penokohan villain-nya, yaitu Wilson Fisk alias Kingpin, yang lebih dieksplor sisi kemanusiaannya. Kadang gue merasa tokoh-tokoh di Daredevil ini rada 'abu-abu' malah, dan nggak terlalu komikal. Tone-nya emang sih lebih serius dari Gotham dan Flash, malah untuk ukuran serial superhero Daredevil ini tergolong 'noir', lebih cocok dibilang serial crime drama. Tapi gue prefer yang kayak gitu, jadinya yang dijual itu plot dan perkembangan karakter, bukan gimmick. Balik ke selera masing-masing kali ya, karena ada yang berpendapat superhero memang harusnya punya tone ceria dan fun. Gue kebanyakan nonton film superhero yang 'gelap' mungkin, hahaha. Lucu lho, soalnya untuk film biasanya DC yang gelap, Marvel yang ceria.
Ya, pokoknya semoga ke depannya Daredevil bisa meningkatkan atau seenggaknya mempertahankan kualitasnya deh.

Daaaan, selain serial-seria di atas, yang paling baru gue ikutin adalaaaaaaaah *drum roll please*
GAME OF THRONES!
Yes, I finally joined the much hyped, mainstream bandwagon. Bukan semata karena biar nggak ketinggalan hype atau biar bisa terlihat keren aja, tapi karena gue penasaran: sebagus apa sih GoT sampe bikin banyak orang, baik yang geek maupun enggak, jadi ngikutin dan tergila-gila sama serial ini?
Pertanyaan gue langsung terjawab setelah gue coba tonton sendiri.
Harus gue akui, pilot episode-nya, alias episode pertamanya, sebenernya nggak keren-keren amat. Orang yang nggak terbiasa sama tema medieval, fantasi, kerajaan, dan politik, mungkin di episode pertama nggak bakal langsung tertarik. Gue pun merasa biasa aja nonton episode pertamanya, agak bosen malah. Tapiii, sialnya gue merasa penasaran sama kelanjutan konfliknya, maka gue pun lanjut ke episode 2. Eh mulai seru, dan gue penasaran lagi. Lanjut ke episode 3. Gitu terus sampe gue menyadari betapa serunya GoT dan tau-tau udah di episode paling baru di season 5. Menurut gue sih, the fun begins at the second episode. Bayangkan aja GoT sebagai versi manusia dari Lord of the Rings with less fantasy and less cliche yang dipotong-potong jadi beberapa episode. Singkatnya sih, GoT ini punya aspek yang memikat: konflik yang rumit namun menarik audiens buat terus-terusan ngikutin, tokoh yang beragam dan bikin geregetan (entah karena dia ganteng dan heroik banget, atau sadis dan minta dibunuh banget—yang jelas tetep keren), universe-building yang bagus, dan plot yang solid, meski ceritanya nggak linear. Selain itu, dua season awal GoT, tiap episode-nya hampir nggak pernah absen dari yang namanya kehadiran cewek topless, telanjang, atau bahkan adegan seksnya sendiri. I know, sex sells. Mungkin ini salah satu faktor juga kenapa GoT jadi sebegitu terkenal. Ini juga kelemahan sih, karena banyak adegan dewasa yang sebenernya nggak penting ditampilkan, tapi tetep ada demi menarik massa; dan feminis mungkin bakal nggak suka GoT (bakal gue bahas lebih lanjut kapan-kapan). Tapi makin ke belakang adegan-adegan gituannya berkurang kok. Di tingkat ini gue rasa GoT nggak perlu pake fan service lagi buat narik penonton, karena ceritanya udah semakin seru dan mulai banyak aksi. Selain fan service yang nggak perlu, GoT juga perlu ngurangin pemakaian shock value yang nggak perlu cuma demi rating (you know what I'm talking about if you already watched S05E09). Hehehe. Pokoknya tonton aja dan putuskan sendiri ya, apakah lo termasuk pasar mainstream pemuja GoT apa bukan. Gue sih, iya. Dan siapin hati aja buat nggak terlalu attached sama satu karakter tertentu kalo nggak mau syok. 8))



P.S.: ngabuburit jangan nonton GoT, pokoknya jangan.

Tuesday, May 12, 2015

Dikotomi Fandom

Anjir, judulnya pretensius banget ya. Making a good title is never my forte, so please let me know if you came up with a better suggestion for this piece.

Belakangan ini, film-film superhero makin banyak digemari. Padahal satu dekade lalu, waktu beberapa film superhero mainstream kayak franchise Batman, X-Men, Hulk, dan Spider-Man mulai bermunculan, hype-nya nggak segede sekarang ini (well, salah satunya mungkin karena kebanyakan film adaptasi superhero di masa itu rata-rata nggak bagus, kali ya). Coba liat sekarang; bahkan cewek-cewek remaja dan orang yang nggak baca komik-komiknya (termasuk gue, yang memenuhi kedua kriteria tersebut), suka film superhero. Dulu? Mana tertarik orang-orang yang nonton film secara kasual buat nyari tau lebih lanjut soal Spider-Man, ataupun menanti-nantikan film Batman selanjutnya. Again, gue nggak tau ini karena faktor kualitas filmnya apa gimana, tapi gue melihat peningkatan minat terhadap film dan komik superhero ini sebagai sebuah kemajuan. Mungkin berawal dari suka filmnya, kemudian mulai cari tahu soal cerita dan karakternya lebih jauh lewat internet, hingga menggaet dan mengantarkan fans-fans baru ini buat baca komiknya. Pada akhirnya, komik-komik ini akan diapresiasi oleh orang-orang diluar segmen pasarnya. Fandom meluas. Publisher senang dapet lebih banyak profit dari konsumennya yang meluas dan rela merogoh kocek buat beli merchandise/komik/tiket film franchise superhero favorit mereka. Which is a good thing for the industry.. Or so I thought.

But the longtime fans? Do they think the same?

Baiklah, gue nggak akan terlalu ngomongin soal industri dan perputaran duitnya, karena bukan kapasitas gue untuk ngomongin hal yang nggak terlalu gue tau. Yang mau gue omongin adalah.. Dikotomi yang ada di dalam fandom superhero sekarang. Ada fans lama; yang memang sejak kecil tumbuh bersama superhero-superhero ini dan dari dulu setia baca komiknya, ngikutin series-nya, nonton film-film jadulnya. Lalu ada fans baru; orang-orang yang baru 'melek' superhero sejak era Iron Man (2008) atau bahkan The Avengers (2012). Mereka mayoritas cuma ngikutin film superhero yang muncul sejak Iron Man tadi dan nggak terlalu mendalami, tapi banyak juga yang kemudian nyemplung ke dunia perkomikan dan jadi mendalami karena jatuh cinta sama film-filmnya. Gue pribadi tergolong di antara dua tipe fans baru ini, karena gue baru ngeseriusin film superhero ini sejak gue masuk kuliah, yang kemudian bikin gue nggak absen buat nonton film-film barunya sambil sesekali browsing lebih jauh soal cerita dan karakternya, nonton TV series-nya, ataupun ngintip komiknya.

Dan layaknya old fandom lainnya, keberadaan 'fans lama' dan 'fans baru' ini nggak jarang menimbulkan sentimen-sentimen tertentu, entah buat produknya ataupun fans-nya sendiri. Ambil contoh, fandom Studio Ghibli. Beberapa waktu lalu, skena Twitter lokal sempet rada panas gara-gara ada seorang Twitter user dengan followers enam digit (I refrain from using the term 'selebtwit', but now you know) yang menulis seakan dia adalah fans berat Studio Ghibli, kontradiktif dengan tweet lamanya yang menyatakan kalo dia ngantuk waktu nonton salah satu filmnya. Ya, seperti yang lo duga, para fans lama jelas langsung menertawakan dan mencibir orang ini rame-rame, nganggep dia poser layaknya fans-fans baru yang suka membuat klaim berlebihan soal produk fandom-nya di medsos, padahal dia baru tau beberapa aja dan (kayaknya sih) nggak bener-bener suka.

Jangankan fans baru versus fans lama deh, sesama fans baru pun kadang suka saling sensi. Ini pengalaman pribadi gue sih, sebenernya. Jadi, waktu nonton Avengers: Age of Ultron (2015) kemaren, gue duduk di depan seorang cewek. Kenapa gue tau? Karena.. Selama film berlangsung dia beberapa kali berisik ngobrol sama temennya. Gue waktu itu sempet mikir, "Oh, orang ini ngerti Avengers?" sampai akhirnya mid credits scene diputar, Thanos muncul dan dengan heboh (serta pedenya) cewek ini bilang, "Itu Odin kan?!?!?!?"



..Gue mau facepalm, tapi kemudian gue inget kalo beberapa tahun sebelumnya gue pun nggak tau siapa bapak-bapak ungu di end credits The Avengers sebelom dikasitau temen gue yang geek dan gue inisiatif Googling.

Selain contoh-contoh yang gue sebutin di atas, masih banyak sentimen-sentimen lain, kayak contohnya "cewek-cewek pada suka gara-gara aktornya pada ganteng aja" dan "overhyped banget sih film ini, banyak fans baru yang nggak tau apa-apa sih". Ya, kebanyakan nyinyiran itu datengnya dari fans lama memang, tapi lucunya, yang gue liat dan yang gue baca dari sebuah artikel (lupa darimana, maaf) film-film superhero sekarang ini justru dibuat untuk fans-fans lama yang mungkin sekarang usianya udah 30an. Kenapa? Coba tengok artikel tentang review ini. Jangan lupa baca juga komen pertama di artikel tersebut. Cukup menggambarkan? Ya, fans-fans baru mungkin nggak tau siapa itu Scarlet Witch, Quiksilver, dan Vision yang baru dimunculkan sekarang, nggak tau apa itu Infinity Stones, dan mungkin nggak tau juga siapa aja itu Suicide Squad dan apa maksud dibentuknya. Buat fans baru, beberapa film superhero ini rada segmented, tapi kadang buat fans lama, justru beberapa film superhero ini overhyped (mungkin nggak memenuhi ekspektasi mereka yang udah baca komik-komiknya duluan). Bahkan seorang longtime fans yang gue kenal bilang kalo fenomena ini nggak adil, karena di saat dulu dia suka superhero nggak ada orang lain yang suka juga dan bisa diajak ngobrol, eh sekarang semua orang suka.. Tapi dia tetep nggak bisa ngajak ngobrol fans-fans baru ini karena wawasannya jauh lebih luas dan bisa-bisa dianggap terlalu geeky.

I'm in no place to say this, but here's my advice: calm your tits down, both of you longtime fans and new fans. Ini berlaku buat semua fandom, lho. Oke, memang ada masanya saat gue menjadi longtime fans di suatu fandom lalu tiba-tiba banyak fans baru bermunculan dan hobi berkoar-koar soal kesukaannya terhadap produk fandom ini (padahal kayak yang gue bilang tadi; belom tau banyak dan belom tentu beneran suka), gue akan menyebut mereka poser dan menggunjingkan kelakuan mereka sama sesama temen gue yang juga longtime fans. Tapi makin kesini gue makin merasa that it was pointless and it made me sound like a dick slash elitist fan, karena seperti kata seorang senior gue: at one point of our lives, we were once posers. Mungkin tanpa sadar, waktu baru kenal Studio Ghibli dulu misalnya, kelakuan gue poser banget; nge-like page FB film-film Ghibli, masang wallpaper Ghibli, ngebacot soal Ghibli di medsos dan lain sebagainya, padahal jumlah film yang udah gue tonton baru bisa diitung dengan sebelah tangan. Tapi menurut gue sih gapapa selama 'kelakuan poser' ini bisa mengarahkan kita buat mencari tau lebih banyak soal fandom tersebut, mendalaminya, hingga pada akhirnya bener-bener suka dan tanpa sadar kita jadi longtime fans. Toh, kalo kebetulan 'poser' ini niat dan rela ngeluarin duit lebih buat beli merchandise dan produk aslinya (meskipun tujuan awalnya cuma buat pamer) justru bikin dia lebih baik daripada yang mengaku fans lama tapi selalu mengonsumsi produk bajakannya dan nggak ngasih kontribusi apa-apa kepada fandom yang katanya sih sangat disukai, setidaknya secara finansial.

Lagian, fandom yang tidak berkembang = duit mandek = produksi berkurang. Hasilnya? Bisa tau-tau berhenti produksi atau malah langsung gulung tikar. Menurut gue lagi nih ya, fans yang baik adalah fans yang membiarkan fandom-nya berkembang, dan dengan senang hati mau 'menebarkan ajaran' sehingga lebih banyak orang yang tertarik atau seenggaknya terbuka matanya soal fandom ini. Kalo emang lo suka dengan sesuatu, harusnya lo nggak usah peduliin kelakuan poser selama nggak memberi pengaruh negatif secara langsung, fokus aja buat mendalami hal tersebut dan 'menebarkan ajaran' tadi. Tapi ya, gue ngerti banget sih kecemasan fans-fans lama yang khawatir produk fandom-nya bakal berubah ke arah yang tidak menyenangkan (baca: masuk ke jurang kapitalisme) demi menyesuaikan kebutuhan fans-fans baru yan sebenernya belom banyak tau apa-apa. Hal kayak gini biasanya terjadi di industri musik sih, dimana style dan genre musik yang dibawakan seorang musisi atau band harus senantiasa ngikutin jaman kalo nggak mau tenggelam. Mungkin lo bisa survive dengan mempertahankan nilai-nilai lama lo dan 'hanya' mengandalkan fans lama, tapi ya itu, lo bakal susah berkembang dan bersaing di industri tersebut. Walau ada juga orang-orang yang make alesan ini sebagai excuse buat jadi fans lama elitis yang ceritanya berusaha mempertahankan eksklusivitas fandom-nya padahal ujung-ujungnya cuma buat ngasih makan ego or for the sake of their fandom being 'obscure and cool'.



The bottom line is.. Fandom is not a friggin' competition. Stop dissing other fans. Instead, gather 'round together and fight for the same cause, make the products even better. After all you have one thing in common: an interest for certain things. What makes it different is that level of interest. Now, I don't expect us to holding hands while singing Michael Jackson's Heal The World, but at least have some decency to: 1. Stop being a prick who constantly bitching about how much the fandom has changed or being rude to newcomers, and 2. Actually research your so-called favorite movie/comic/book/musician/game/whatsoever, so that you get to know 'em better and don't end up like a total poser.

It is not that hard, right guys? :-D

Wednesday, April 29, 2015

Ahem.

It seems like yesterday when I coincidentally met a friend and he asked me, "are you going to apply as an assistant lecturer?"

Thanks to him, I remembered my freshman's dream to help my juniors getting by in my favorite subject. I'm not the best tutor or mentor, but sure I love being in that position. I just love helping others to hone their skills with my fair share of experiences and knowledges, especially in my own field. So without a second thought, I applied. I turned in my CV and my academic transcript. First semester, I failed because I woke up late. In second semester, I woke up earlier and I made it. Yay! Early bird gets the worm, eh?

I was assigned to class four. Funny, because I was paired up with that same friend who reminded me of the assignment lecturer opportunity. He also failed on the first semester so practically we were really new to the class.

My first impression? Not much. But I immediately learnt that this class is actually better (if any of you—member of the class—happened to read this post, don't get cocky!) than other classes. They're somewhat tame and.. Tidy? DKV-ish? Whatever. I guess the credits goes to their previous assistant lecturers. I kinda feel grateful anyway, because well.. I don't need to spend my energy and time to get mad at their drawing skills. Oh wait, some of them were actually super terrible at drawing, but I just don't have the heart to say anything insulting :-P I don't know, I just don't feel like that discouragement will do them any good. Just not my style, I guess. Also, my partner is not the type of person who get worked up or get angry easily, so.. Class four is a bunch of lucky bastards to have a pair of nice, reserved, nurturing assistant lecturers like us. Hahaha.

Anyway. Next week is the last day of class and I suddenly got all melancholic, thanks to yesterday's class. Yesterday after class, we (the entire assistant lecturers) arranged a fake test for these freshmen. It consisted of five questions, and the fifth questions was something along "Who's your favorite assistant lecturer? You can draw them or describe them". And the result was somewhat pleasing and fun. Although I got no drawings (unlike my fellow assistant lecturers from other classes, *sobs*), at least some of my favorite fellas reciprocate my feelings. Yeah, I know, this is the opposite of 'senpai noticed me' situation. To make long story short; it really made my day. The end.

Is it worth it, being an assistant lecturer? Spending your whole day, from 9 to 3, being stuck with some clueless freshmen? Re-learn all the lessons that you already passed years ago?

Here's my answer: Yup! Best. Decision. Ever.

It was tiresome, of course, but I constantly get inspired to draw something after class—it helps a lot with my recurring art block. So yeah, being an assistant lecturer is a two-way thing: they got the lessons and the assistance needed for their drawing skills (and grade), meanwhile you got your mood boosted, mind inspired, fees (well duh, this ain't a volunteer work), and—this is my favorite part—you got new acquaintances and possible friends.

Dear my fellow partner or students from class four, if you ever happened to stumble upon this post; I'd like to thank you guys, personally, for making the most of my days for the last few months.  One semester is such a short period for me. I wish I had been assigned from the first semester so that I could remember each of your names and faces (that's right, I haven't memorized some of you! Sorry if I ever forget your name or face haha), or to know you guys better. Also, sorry for being a not-so-competent assistant lecturer and being clueless sometimes (that I could only say something like "make it bigger", "add something here", "it's too long"). I wish you guys get even better in terms of skill, and please, whatever your major would be, don't be too lazy to draw or get satisfied easily. See you at the mighty gedung SR! >:-D

..Now excuse me while I clear my throat.

Friday, April 10, 2015

This Case Really Grinds My Gears!

Tadi sore, gue baru aja baca sebuah artikel yang di-share Joko Anwar di akun Twitter-nya. Twitnya berbunyi seperti ini:


Baca kata 'Dating abuse case' dan 'ITB', jelas gue langsung tertarik buat ngeklik link-nya. Sekedar informasi, beberapa bulan yang lalu emang ada kasus penganiayaan antara mahasiswa dengan mahasiswi ITB yang berpacaran. Berita tentang kasusnya muncul dimana-mana kok, silahkan Googling kalo nggak males buat tau lebih lanjut soal kronologisnya. Atau langsung aja tengok link yang gue quote di atas, kronologisnya kasusnya juga diceritain kok meski nggak terlalu detail. Isi link-nya berupa artikel yang ditulis oleh orang yang udah pernah ketemu dan ngobrol langsung sama sang korban, Raras, jadi gue rasa isi tulisannya cukup kredibel. Coba baca aja ya.

Udah baca? Kalo udah, gue mau mengemukakan pendapat gue soal masalah ini.

Sejak baca berita tentang kasus yang pertama dulu, sebenernya gue udah sedih. Kok bisa-bisanya ada yang tega nganiaya pacar sendiri sampe segitunya? Kenapa harus nganiaya, kenapa nggak bisa diomongin baik-baik, be more civil? Sedihnya lagi, kok bisa-bisanya orang itu sekampus sama gue? Mengenyam pendidikan yang bagus dan menjalani hidup sebagai mahasiswa di kampus dan kota yang super nyaman ini?

Secara personal, gue nggak kenal sama sekali sama si pelaku yang bernama Firdaus. Angkatan kita beda, fakultas dan jurusan kita pun beda. Dia juga bukan tipe seleb kampus atau petinggi kampus, jadi jujur aja gue baru pertama denger namanya ya di kasus itu. Padahal, ternyata dia masih satu circle sama beberapa senior kenalan gue. Begitupun sama Raras, gue sama sekali nggak kenal karena beda angkatan, jurusan, dan fakultas. Jadi ya.. Penilaian gue terhadap mereka itu adalah penilaian terbentuk dari hal-hal yang gue baca dan gue denger tentang mereka.

Pernah, pas gue ngomongin soal kasus ini sama seorang temen, dia berkomentar kurang lebih seperti ini: "tapi katanya (kata temen-temennya temen gue yang kebetulan kenal sama si pelaku dan si korban, red), si ceweknya juga agak bitchy gitu."

Bitchy? Gue waktu itu nggak terlalu menanggapi, tapi kalo dipikir lagi sekarang, sebenernya perkataan semacam itu bikin kesel juga. Kalimatnya menyiratkan konotasi semacam, "she kinda deserves it anyway," atau "ya mau gimana lagi, salah juga sih ceweknya soalnya dia bitchy, ya pantes kalo sampe ribut dan si cowok nganiaya dia". Wah, jadi kalo kita bitchy, atau setidaknya dipandang bitchy oleh sebagian orang, adalah hal wajar kalo sewaktu-waktu kita diapa-apain cowok. Gila. Ini pembenaran yang nggak pantes, sih. Lagian, apa sih definisi 'bitchy' orang-orang ini? Berpakaian terbuka? Suka tebar pesona? Suka seks? Suka jahatin orang? Huft. Being bitchy is one thing, but got abused physically and mentally because we're considered as 'being bitchy'? That's whole another thing. Apa karena pacar lo berperilaku nggak baik lantas lo boleh mukul dia, jambak dia, bentak dia, ngekang dia, dan semacamnya? Nggak, kan? Orangtua sendiri aja belom tentu boleh, gimana yang statusnya cuma pacar.

Dan ini baru pacar lho, gue bergidik kalo membayangkan seandainya ini terjadi pas mereka suami istri. Ya, sisi positifnya, ini terjadi pas mereka 'baru' pacaran. Seenggaknya Raras jadi sadar kalo Firdaus bukan pasangan yang baik, apalagi calon suami yang baik. Kalo seandainya belum ada kejadian ini dan mereka lanjut ke jenjang pernikahan, yang kemudian baru nunjukin sisi gelapnya si Firdaus ini.. Mungkin lebih banyak lagi hal yang dipertaruhkan. Too bad, Raras had to learn it the hard way. :'(

Setelah berbulan-bulan kemudian gue udah nggak ngikutin kasus ini lagi, tiba-tiba muncul artikel di atas. Ternyata, kasusnya nggak berhenti sampai situ aja. Penganiayaan kedua terjadi ketika Raras diajak ke kosan Firdaus dengan intensi (yang harusnya) baik. Dan jujur aja, kronologis kasus yang ini jauh bikin gue kesal dan berkaca-kaca bacanya. Terutama bagian-bagian ini:

He told his landlord that she had been shamelessly pursuing him, coming over and wanting to spend the night.

“I was confused and I told the landlord I had been there since the night before, but Daus said he could check with Kris. I panicked and blurted out that I had been raped. It was a reflex.”

“His landlord yelled at me, ‘How can you be so shameless, you are a woman!’” she recounted him telling her.

Victim blaming detected! Ya, victim blaming alias menyalahkan korban adalah hal yang kerap dijumpai di kasus-kasus semacam ini, dimana korban merupakan seorang wanita dan kasusnya biasanya melibatkan perkosaan atau penganiayaan seksual. Silahkan cek tulisan menarik dari Kartika Jahja ini buat tau lebih banyak dan lebih melek soal fenomena victim blaming. Oh ya, victim blaming ini sebenarnya mengakar dari rape culture, sebuah budaya dimana pemerkosaan dianggap sebagai sesuatu yang bersifat susah dihindari dan dianggap normal. Penjelasannya pun bisa kita baca di artikel ini.

“It’s even more challenging than domestic violence, because for our society, a young woman coming over to her boyfriend’s place is seen as asking for trouble. They would say, ‘No wonder she gets beaten up or raped.’”


Dan gue kenal banyak orang yang menegakkan rape culture ini, bahkan masih pake analogi 'kucing mana bisa nolak kalo disodorin ikan asin.' Padahal cowok masih punya yang namanya kontrol diri dan akal sehat sebagai manusia, bukan kucing yang nggak bisa ngontrol naluri binatangnya dan dateng tiap disodorin ikan asin (bahkan gue bingung sama cowok-cowok yang membela diri pake analogi ini, kok mau sih nyamain kaum sendiri sama binatang? Doh.). Pokoknya, hal-hal yang bertentangan dengan norma, adat, agama, seperti berpakaian minim atau mabok dijadikan pembenaran atas tindakan pemerkosaan (atau dalam kasus ini, penganiayaan) itu. Percaya deh, begini-begini gue termasuk cewek yang konservatif dan masih mengikuti sebagian ajaran agama, bahkan gue sebenernya agak risih ngeliat sesama cewek yang kemana-mana berpakaian minim, tapi bukan berarti kalo mereka diperkosa gue cuma manggut-manggut maklum, gue paling nggak suka sama orang yang punya pola pikir rape culture ini, kayaknya getol banget menjustifikasi pemerkosaan.

Kayak kalo dalam kasus ini, si bapak kontrakan malah marah sama si Raras yang mengaku diperkosa (dan terdengar nggak peduli sama kondisi Raras yang terguncang ataupun luka atau lebam yang mungkin keliatan), karena menurutnya itu salah Raras yang nginep di kamar cowok. It's really funny how people tend to focus and put the blame on small things that they considered as 'opposing the norms', but overlooking the main problemwhich is even bigger and brutalthat is not only opposed to the norms, but harmful for other people's mental and physical health. Gue nggak habis pikir.

OBR’s volunteer Icha said dating violence cases rarely go to court and most victims never report them, because a lot of the time they involve pre-marital sex, which is still frowned upon by society.

“Sex is being used to ‘tie down’ a girl to her boyfriend, making her endure being abused, because she feels that having lost her virginity makes her less valuable,” she said.

Penjelasan yang cukup logis dan masuk akal, menurut gue. Sori jadi OOT, tapi nyatanya, nggak jarang gue mendengar kasus semacam ini di dunia nyata: cewek merasa attached dan nggak mau putus sama cowoknya karena cowok itu yang udah merawanin dia. Ya, bener kata artikel di atas, antara 1.) dia merasa nggak berharga lagi dan nggak yakin ada lagi cowok yang mau sama dia pas putus nanti (karena kebanyakan cowok, ironisnya, cuma mau perawan), atau 2.) dia merasa cowok yang merawanin dia itu is The One, Mr. Right, apalah itu yang akan menikahi dia. Dikiranya seks itu semacam garansi atau reassurement kalo dia bakal dinikahi si cowok, mungkin juga cowoknya sebelum atau sesudah merawanin dulu berjanji bakal nikahin dia. Padahal mah.. Nggak tau deh.

Selain hal-hal berbau gender dan seksualitas di atas, ada lagi hal yang bikin gue melongo bacanya. Jadi, pas di pengadilan, district prosecutor (apa sih bahasa Indonesianya, jaksa wilayah?) yang harusnya ngebela dan ngebantu Raras, cuma ngajuin tuntutan enam bulan penjara buat Firdaus! Walah, gimana ceritanya tuh. Bahkan Raras pernah dibujuk buat menyudahi kasusnya karena si jaksa rupanya kasian sama Firdaus. Usut punya usut, si jaksa punya alasan sendiri kenapa dia cuma ngajuin enam bulan. Yaitu..

“The prosecutor told us, ‘I wanted to help you initially, but because of how it’s turned out, I’m having second thoughts. If you had problems with me, you should’ve told me. I regret ever putting Firdaus in jail. He seems like a nice kid, and his supervising professor has guaranteed that he is a good student. I don’t want to ruin someone’s future,’” Icha recounted the meeting.

Before she talked, the prosecutor asked to see their phones to make sure they weren’t recording the conversation, she said. 

Di bagian ini, gue cuma bisa mikir, "What the fuck?" Merusak masa depan orang lain? Wah, gila kali ya. Dikira si korban nggak rusak masa depannya? Gimana sih caranya biar pengen nyelametin masa depan seseorang yang udah ngerusak masa depan orang lain? Bingung gue. Apalagi si jaksa ini juga cewek, yang mungkin harusnya lebih bisa prihatin dan bersimpati sama kondisi Raras. Gue juga penasaran, se 'seems like a nice kid' apa sih si Firdaus ini, sampe orang-orang kayaknya lebih mihak dia? Beneran deh, gue berusaha senetral mungkin waktu baca-baca berita soal kasusnya dulu. Tapi baca kronologisnya, terutama di artikel ini, rasanya kok ya susah buat menyukai sosok Firdaus ini. Nggak tau sih kalo kenal orangnya langsung. Tapi kalopun Firdaus aslinya memang cowok baik-baik, kenapa sampe ngelakuin itu semua, dan nggak cuma sekali? Khilaf? Yeah sure, khilaf sampe dua kali.. Dan kalo dari apa yang gue baca (nggak cuma dari artikel di atas), tentang gimana mereka sampe bisa beradu mulut, reaksinya Firdaus, caranya Firdaus buat nutup jejaknya dia, gue punya impresi kalo si Firdaus ini pada dasarnya emang cukup temperamental dan egonya tinggi. Maaf kalo salah, ini impresi doang lho ya. Soalnya gimanapun media 'kan bisa melintir-melintir fakta, tapi gue memutuskan untuk percaya sama apa yang udah diceritain Raras sih.

Anywayyy, catatan aja: seorang mahasiswa yang baik bukan berarti otomatis seorang manusia yang baik juga, lho. 'Baik' dalam konteks akademis nggak ada hubungannya sama 'baik' secara moral, mental, atau perilaku. Tolong ya, ibu jaksa dan bapak dosbing.

Ngomong-ngomong soal masa depan, gimana kabar Raras dan Firdaus sekarang? Dari apa yang gue baca, Raras masih berjuang dengan kasus kedua meski nggak ada progres. Selain itu, kondisinya seperti ini:

She is taking a semester off this year, because she had had to miss a lot of classes due to the trial. But it isn’t just that – she also doesn’t feel emotionally fit to attend classes. Last semester, her grade point average dropped significantly, as she flunked one class and had to miss many days of school because she was sick.


But the worst part was that she felt she had lost some friends. They shirked from her to try to stay neutral. Behind this, she found out, were rumors circulating about her being a “psycho”, like the girl in the movie Gone Girl who fakes her own death to frame her husband.


These days Raras sees a counselor and a hypnotherapist, and takes medications to recover from her traumas. She still fears being with guys, and when someone raises her or his voice, she easily goes into a panic state.

.....Ya ampun. Gue yakin Raras bisa kuat, tapi dengan keadaannya yang kayak gitu, kok bisa-bisanya masih ada yang memojokkan dia dan malah belain masa depan Firdaus? Rumornya juga parah sih itu, mungkin orang-orang yang bikin rumornya adalah orang-orang yang sama kayak yang nyebut dia 'bitchy'. Mudah-mudahan Raras masih punya temen-temen yang tulus dan suportif, ya.

Lalu gimana dengan Firdaus? Katanya sih, dia di-skors satu semester dari kampus. Tapi..

She is not happy about Firdaus’ academic sanction, because she said it wouldn’t affect him much, as he had already passed his final assignment and had no more classes to take.

Wow. Beruntung banget dan tenang banget hidupnya si Firdaus ini ya kayaknya, masih bisa nyelesain TA di tengah peliknya kasus ini dan bahkan udah bisa wisuda kalo udah selesai skors nanti. Sebagai perbandingan, di kampus lain, kalo lo ketauan bikin video bokep, lo bakal langsung di-DO. So much for social norms, eh?

Btw, Firdaus kena sangsi dari kampus pun baru berbulan-bulan kemudian, setelah berkali-kali dikirimi surat oleh masing-masing pengacara dari kedua belah pihak dan oleh Raras sendiri. Alasannya sih, begini.

“We have no judges, police or prosecutors. Our paradigm is education, so our main goal is to find the truth and impose a sanction in the context of education. That’s why we tend to avoid punishments that are detrimental to someone’s future. It’s not punishing for the sake of punishing,”

Yang gue tangkep adalah: ITB cuma mau ngurusin kasus akademik. Apa itu kesejahteraan mahasiswa? Hahaha. Ini makin memperkuat anggapan kalo ITB itu kampus yang study-oriented banget.

Anyway, kira-kira itu pendapat gue. Seperti yang tertulis di artikel, kronologis ini diceritain dari sudut pandang Raras, dan belum dikonfirmasi kebenarannya ke Firdaus. Mungkin aja ada sisi lain dari cerita ini, tapi tetep aja, yang namanya kekerasan dalam hubungan itu nggak bisa dibenarkan, dan korbannya harus ditolong. Gue mendoakan keduanya aja deh, semoga Raras bisa menjalani hidupnya kembali seperti semula (you go, girl!) dan Firdaus nggak bakal mengulangi perbuatannya ataupun mengganggu Raras lagi. Gue juga berdoa semoga kampus gue tercinta ini cepet-cepet membenahi sistem maupun budayanya, berdoa semoga hukum di Indonesia nggak terus-terusan bisa dipelintir sesuka hati sehingga cenderung tumpul dan tajam ke pihak-pihak tertentu, dan berdoa semoga pola pikir masyarakat yang patriarkis ini nggak terus-terusan terbutakan 'norma' ataupun 'ajaran agama' yang dimisinterpretasikan. Aamiiin.


************************


Interesting side note:
Ironisnya, saat kasus ini kembali muncul ke permukaan–atau mungkin bukan 'kembali muncul' tapi lebih cocok dibilang 'muncul update soal kasus ini' (karena sepertinya orang-orang udah nggak ngurusin ini lagi)muncul film-film semacam Fifty Shades of Grey dan Gone Girl, yang keduanya menampilkan (dan memuliakan) sosok pasangan yang manipulatif sebagai tokoh utama. Yang satu abusive dan control freak, yang satunya lagi sadis dan psikopat. Tebak, mana yang lebih dipuja? Dua-duanya, tapi yang cowok, Mr. Grey, punya fans yang jauh lebih banyak di kalangan wanita. Tebak, mana yang lebih ditoleransi? Lagi-lagi Mr. Grey, karena dia nggak sampe membunuh orang ataupun memfitnah pasangannya, tapi 'cuma' menganiaya Ana secara mental sepanjang film dan bisa dibilang melakukan 'date rape'. Padahal, dua-duanya nggak sehat dan nggak bisa dibenarkan. Begitupun Gone Girl, meskipun gue suka banget sama filmnya, secara nggak langsung film ini bikin orang awam berasumsi kalo cewek adalah pihak yang selalu penuh drama dan gila dalam suatu hubungan. Makanya ada istilah crazy ex-girlfriend, bukan crazy ex-boyfriend. Ya, penggambaran hubungan nggak sehat tapi didistorsi sedemikian rupa agar terlihat unyu ataupun dramatis inilah yang sebenernya berbahaya buat membentuk pola pikir masyarakat. Hal ini bakal gue bahas kapan-kapan di postingan terpisah, tunggu aja ya.

Sunday, March 22, 2015

Fullmetal Alchemist (dan Kenapa Kalian Harus Membacanya)

Belum lama ini, saya baru selesai membaca satu judul manga buatan Arakawa Hiromu yang sempat booming di dekade awal tahun 2000an. Ya, apalagi kalau bukan Fullmetal Alchemist. Sebelumnya, saya cuma nonton animenya (Fullmetal Alchemist: Brotherhood) di Animax waktu SMA, itupun sepotong-potong. Teman saya banyak yang suka, tapi entah kenapa waktu itu saya merasa biasa saja, tidak terlalu tertarik. Lalu bertahun-tahun kemudian, pacar saya yang memang rajin meminjam manga di rental langganannya, datang dengan membawa beberapa jilid awal komik Fullmetal Alchemist—yang selanjutnya akan saya singkat menjadi FMA. Rupanya dia mau membaca ulang FMA yang sebelumnya pernah ia tamatkan. Karena komik-komik yang saya ikuti belum keluar jilid terbarunya di rental, maka saya tergoda untuk ikut membaca FMA, selain karena si pacar yang meyakinkan saya bahwa komik ini keren dan bagus ceritanya.

Lalu tahu-tahu, 27 jilid saya lahap habis dalam waktu sekitar satu mingguan saja. Sungguh, ceritanya adiktif dan selalu bikin penasaran! Saya memang terbilang telat beberapa tahun untuk baru menyukai serial ini, tapi mengutip komentar seorang teman saat ia mengetahui saya yang (juga) baru mengikuti dan menyukai komik Monster-nya Naoki Urasawa: tidak ada kata telat untuk mengikuti karya masterpiece.

Maka kali ini, saya ingin menulis beberapa alasan mengapa kamu—yang mungkin lahir pada akhir tahun 90an atau awal 2000an dan lebih akrab dengan anime seperti Attack on Titan, Sword Art Online, dan sejenisnya—sangat disarankan untuk membaca serial ini, setidaknya sekali. Oh ya, saya akan mencoba meminimalisir kadar spoiler disini, karena tulisan ini tidak hanya dibuat untuk membuat penggemar lama FMA mengangguk setuju dan bernostalgia namun juga untuk menarik minat pembaca-pembaca angkatan muda, hehe.


Fullmetal Alchemist bercerita mengenai Elric bersaudara, Edward dan Alphonse. Keduanya merupakan ahli alkimia berbakat yang masih belia, dan hal ini tidak lepas dari kejadian yang menimpa mereka semasa kecil. Saat ibu mereka—satu-satunya anggota keluarga yang mereka miliki—meninggal, Ed dan Al berusaha menghidupkannya kembali dengan melakukan transmutasi manusia, salah satu praktik alkimia yang dilarang keras oleh negara. Sayangnya, percobaan mereka berakhir tragis. Alih-alih menghidupkan kembali sang Ibu, Ed sang kakak harus kehilangan tangan kanan dan kaki kirinya, sedangkan Al sang adik malah kehilangan seluruh tubuhnya dan jiwanya harus 'hidup' di sebuah baju zirah kosong. Sejak saat itu, Ed dan Al pun mencari cara untuk mengembalikan tubuh mereka seperti semula, yang mereka yakin bisa terwujud dengan Philosopher's Stone, batu bertuah legendaris yang konon memiliki kekuatan yang sangat besar dan memungkinkan seorang ahli alkimia untuk membuat apapun. Untuk memudahkan pencariannya, Ed juga mendaftar untuk menjadi ahli alkimia negara yang mempunyai akses lebih luas (dan dana, tentunya) untuk melakukan riset dan penelitian dalam dunia alkimia. Karena lengan dan kakinya yang kini dipasang prostetik berbahan automail (semacam besi), Ed diberi gelar "Fullmetal Alchemist". Pencarian mereka akan Philosopher's Stone pun dimulai.

Sekilas membaca komik ini, mungkin kita akan mengerutkan dahi karena belum apa-apa, pembaca rasanya sudah disuguhi hal-hal berat seperti hukum-hukum alkimia, Philosopher's Stone, transmutasi, dan lain sebagainya. Tapi jangan buru-buru mengecap FMA sebagai 'komik berat', karena nyatanya tiap filosofi atau teori yang sebenarnya berat, dijelaskan dengan cukup sederhana dan mudah dipahami orang awam disini. Bahkan jika kamu cermat, sebenarnya banyak pesan tersembunyi di balik filosofi dan teori di sepanjang komik ini, salah satunya transmutasi manusia yang berakibat fatal bagi Elric bersaudara, karena jika ditilik secara biblikal, mereka telah dianggap mencoba melangkahi teritori Tuhan yang mengatur kehidupan dan kematian manusia. Ya, FMA mampu mengemas hal-hal semacam itu menjadi elemen komik shonen yang menarik tanpa terasa sok pintar atau sok berat.

Poin utama kelebihan serial ini, tentunya, adalah plot ceritanya. Awalnya, saya sempat ragu membaca FMA karena malas menemui tipikal plot komik shonen yang terlalu panjang, dengan banyak arc repetitif, yang ceritanya kadang terasa dipaksakan karena sudah terlalu lama berlanjut. Namun pacar saya menepis kekhawatiran saya dan berkata bahwa cerita di FMA ini sangat linear, tanpa filler, dan cukup berakhir di satu arc saja. Maksudnya, ceritanya konsisten dan tidak melenceng kemana-mana. Dari awal hingga akhir, ya musuhnya si itu-itu saja. Bukan seperti komik shonen lain yang seringkali terbagi menjadi beberapa arc dengan cerita dan tokoh antagonis yang berbeda namun dengan skrip yang mirip-mirip, demi mengalirnya profit. Untungnya, pacar saya benar, komik ini tidak terjebak dikotomi komik shonen yang klise, membuat saya—yang gampang bosan atau terdistraksi saat membaca serial panjang dengan progress lambat—betah mengikuti FMA. Premisnya pun, meski sekilas nampak one-track dan tidak terlalu istimewa, perlahan-lahan berubah rumit seiring perkembangan cerita. Ya, pada akhirnya FMA memang bukan sekadar tentang Elric bersaudara yang berkelana mencari Philosopher's Stone. :-P

Well, elemen-elemen shonen yang kental memang masih banyak ditemui disini, misalnya tema persahabatan, pembalasan dendam atas kematian seseorang, perebutan kekuasaan, dan lain-lain. Namun menurut saya, FMA ini agak dark untuk ukuran komik shonen. Bahkan di 5 jilid pertama, emosi pembaca sudah 'dihajar' habis-habisan. Melalui racikan jenius Arakawa, kita diajak untuk mengikuti Elric bersaudara dalam pencarian mereka akan Philosopher's Stone. Kita akan sama-sama diajak menghadapi pilihan-pilihan sulit, kemunculan tokoh-tokoh yang entah akan membuat kita bersimpati, jatuh cinta, atau sangat benci, fakta-fakta tak terduga, yang semuanya kelihatan telah direncanakan dan disusun rapi sejak awal komik ini dibuat. Apresiasi untuk Arakawa yang berhasil membuat plot yang konsisten dan rapi!

Tadi rasanya saya menyebut 'kemunculan tokoh-tokoh yang entah akan membuat kita bersimpati, jatuh cinta, atau sangat benci'. Tapi FMA ini adalah tipe komik yang tokoh-tokohnya tidak redundan; tidak terlalu banyak hingga saya yang pelupa ini tidak kesusahan untuk menghafal nama dan wajahnya (terima kasih untuk gaya menggambar Arakawa yang tokohnya tidak mirip satu sama lain), namun tidak terlalu sedikit juga hingga menjadikan komik ini monoton. Tokoh-tokoh yang ada kemunculannya begitu natural, dan saya pribadi tidak merasa ada tokoh tertentu yang menggangu keseimbangan cerita, terlalu deus ex machina, atau mengganggu secara umum—tahu kan, di komik biasanya ada tokoh tertentu yang menurut kita mengganggu, mungkin karena terlalu berusaha untuk ditampilkan sebagai tokoh comic relief yang selalu muncul meski perannya tidak signifikan dan tidak terlalu lucu? Sebenarnya, di FMA juga ada tokoh seperti itu, namun keberadaannya masih terbilang wajar dan justru kemalangannya membuat pembaca tertawa, alih-alih kesal.

Saya pribadi belum benar-benar punya tokoh favorit, tapi saya menyukai tokoh Al, si adik dari Elric bersaudara yang sifat lembutnya sangat kontras dengan kakaknya, serta Mayjen Armstrong dari benteng Utara, yang digambarkan sebagai sosok wanita sangat tangguh dan tegas yang mahir dalam berkelahi menggunakan pedang anggar. Oh ya, perlu digarisbawahi bahwa tokoh-tokoh wanita disini, meski memiliki karakter dan penampilan fisik yang berbeda-beda, semuanya ditampilkan dengan keren dan kuat dengan caranya sendiri—tidak ada tokoh damsel in distress ataupun 'tokoh wanita lemah yang ada demi menjadi pemanis dan mendampingi sang pria pemeran utama yang dicintainya'. Meski saya bukan feminis, saya suka sekali dengan penggambaran wanita kuat semacam ini. Ngomong-ngomong, nilai plus dari saya pribadi untuk serial ini karena Arakawa-sensei ternyata adalah seorang wanita. Ya, ia adalah salah satu dari segelintir kecil komikus wanita yang berhasil menembus kerasnya kompetisi komik shonen yang segmentasinya diperuntukkan untuk pembaca laki-laki dan mayoritas dibuat oleh para komikus pria.

Saya sebenarnya gemas sekali ingin menyisipkan spoiler, tapi begini saja deh: ending komik FMA adalah tipe ending yang cenderung membuat hati puas dan meninggalkan impresi yang dalam, bukan tipe ending yang berusaha tampil terlalu subtil atau menggantung. Sungguh, saya tidak menyesal membacanya hingga selesai. Jujur saja saya bukan penggemar berat komik shonen, tapi untuk FMA, saya berani memberi nilai tinggi. Tidak heran jika serialnya cukup mendunia, karena memang kualitas yang ditawarkan pun sebanding. FMA menawarkan cerita yang menarik (tentang alkimia, tema yang jarang diangkat dalam komik atau manga saat itu, dan memiliki unsur fantasi berbumbu sains) dengan setting yang menarik (di sebuah negeri bernama Amestris, yang mirip dengan sebuah negara di Eropa pada era perang, hanya saja dalam alternate universe). FMA menunjukkan bagaimana sebuah komik shonen dapat survive tanpa harus memenuhi tuntutan dan ekspektasi pasar. Kesuksesannya pun dapat dibuktikan dengan dibuatnya dua adaptasi anime dari komik ini, yaitu Fullmetal Alchemist dan Fullmetal Alchemist: Brotherhood (dimana yang kedua lebih mengikuti cerita asli komiknya). Selain itu, beberapa judul game dan movie tentang FMA pun telah dirilis, menandai kesuksesan komik dan animenya.

Jadi? Masih merasa belum tertarik untuk membaca FMA? Tenang, saya pun tidak suka dalam sekali lihat. Dan seperti yang saya sampaikan sebelumnya, tidak usah merasa terlambat untuk baru mengikuti serial ini, karena saya pun mungkin masih tertarik untuk membicarakannya 5-10 tahun mendatang. :-)